Kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan
ibukota Kandangan memiliki cukup banyak lokasi yang dapat dijadikan sebagai
obyek wisata, baik itu berupa Wisata Kuliner, Wisata Alam, Wisata Buatan, Wisata
Religius, Wisata Sejarah/Wisata Budaya, dan Wisata Adat yang cukup potensial
untuk dikembangkan.
WISATA KULINER
Ketupat Kandangan
Jika anda singgah di kota Kandangan Kab. Hulu Sungai Selatan (HSS), cobalah
makanan khas Kota ini yaitu Ketupat yang dimakan dengan Gulai Ikan Haruan,
biasa disebut Ketupat Kandangan, Di setiap warung makanan nyaris semuanya
menyediakan menu yang namanya Ketupat Kandangan.
Ketupat
Kandangan
Parincahan adalah satu daerah yang
bisa dikatakan sentralnya ketupat kandangan yang terkenal sejak era 1980 an
sampai sekarang. Di ruas Jalan A Yani, tepatnya mulai Simpang Lima sampai arah
menuju luar kota menuju Kota Barabai, Hulu Sungai Tengah (HST) kita akan
menemui deretan warung Ketupat.
Ketupat kandangan disediakan dengan gulai santan dan ikan haruan (gabus) yang
dipanggang menggunakan arang kayu. Gulai ikan ini juga disajikan dengan cara
khas daerah Kandangan. Ikan tidak langsung dicampur dengan kuah gulai, tetapi
dibikin terpisah. Setelah dipanggang dalam tusukan sate, barulah haruan (gabus)
ini dicelup dalam kuah gulai Lalu disajikan bersama potongan-potongan ketupat.
Ikan haruan atau gabus (Ophiocephalus striatus atau Channa striatus) adalah
jenis ikan yang banyak hidup di rawa-rawa, bahkan di genangan-genangan air yang
masam di Kalimantan Selatan. Dapat dikatakan ikan haruan adalah makanan rakyat
Banjar yang umumnya disantap bersama ketupat kandangan. Inilah makanan yang
menduduki nilai penting dalam hidangan makanan khas Kalsel. Bahkan untuk ikan
haruan berapa pun harganya di pasaran akan dibeli warga demi melengkapi
hidangan makanan khas, terutama untuk hidangan ketupat kandangan.
Kayu Manis Loksado
Kecamatan Loksado adalah merupakan sentra kayu manis yang memiliki stok
produksi kayu manis mencapai 50 ton/bulan.
Kapasitas yang besar ini sangat
sayang bila tidak dikelola untuk dimanfaatkan sebagai peningkatan pendapatan
masyarakat adat. Tanaman Kayu manis yang di budidayakan di kawasan ini adalah
dari jenis Cinnamomun burmanni Blume. Kayu manis merupakan jenis tanaman rempah
(spice) yang banyak digunakan sebagai penambah cita rasa masakan. Namun kayu
manis juga dapat digunakan sebagai bahan pengawet. Karena daerah Loksado
tepatnya di Malaris adalah merupakan sentra kayu manis, maka oleh penduduk
setempat kayu manis tersebut dibuat minuman sirup tanpa mengandung bahan kimia
dan alami, yang mana kita ketahui, tanaman kayu manis sangat berguna sekali
bagi kesehatan.
WISATA ALAM
Loksado
Loksado berada 37.5 km dari kota Kandangan, ibukota kabupatan Hulu Sungai
Selatan (HSS) atau 172.5 km dari Banjarmasin.
Di Loksado ini banyak sekali terdapat obyek wisata alam yang bisa anda kunjungi
dan nikmati, misalnya seperti pemandangan alam, trekking, pemandian air panas,
air terjun, bamboo rafting, dan budaya balai adat.
Untuk menuju ke kawasan ini, setelah
anda memasuki desa hulu banyu dan melewati jembatan kayu, maka ada pertigaan
yang mana belok sebelah kiri terdapat obyek wisata seperti pemandangan alam,
pemandian air panas tanuhi dan air terjun kilat api, dan untuk sebelah kanan terdapat
obyek wisata pemandangan alam, trekking, air terjun, bamboo rafting, dan budaya
balai adat.
Loksado merupakan magnet yang
menjadi primadona wisata alam (petualangan) paling laris dijual ke wisatawan
mancanegara.
Objek wisata alam Loksado tak hanya menarik dari segi kesejukan alam, ada juga
air terjun bertingkat dan pemandinan air panas di desa Tanuhi.
Pernak-pernik kekayaan budayanya menjadi sumber inspirasi bagi peneliti budaya
dan tumbuh-tumbuhan. Ada 43 Balai (rumah adat) tersebar di 9 desa kecamatan
Loksado. Yang paling besar adalah Balai Malaris, Balai Haratai, dan Balai
Padang.
Satu hal yang paling berkesan di mata turis baik wisman maupun wisatawan
domestik adalah setelah sekian jam trekking (jalan kaki melintas hutan)
kemudian ditutup dengan wisata arung jeram menggunakan lanting (rakit bambu).
Pengalaman berarung jeram dengan lanting (bamboo rafting) meninggalkan kesan
khusus bagi para wisatawan yang terbiasa dengan kehidupan modern itu.
Arung
jeram Loksado
Wisata
arung jeram menggunakan lanting (rakit bambu)
Balai Adat Malaris adalah yang
paling besar diantara balai yang lain dikawasan Loksado, dan berjarak 1 km dari
Loksado. Tidak jauh dari Balai Malaris terdapat sebuah bendungan pembangkit
tenaga listrik dan sebuah riam untuk bemandi ria, yaitu Riam Berajang dan Riam
Hanai.
Kawasan Loksado memiliki hutan primer banyak ditumbuhi pepohonan dan
kayu-kayuan yang beraneka ragam. Jenis pohon yang tumbuh diwilayah ini adalah
seperti: Meranti, Sungkai, Ulin, Karet, Kayu Manis, dan jenis pohon buah-buahan
serta aneka jenis bunga Anggrek. Didalam hutan juga hidup berbagai satwa,
seperti: Kijang, Kancil, Macam, Beruang, aneka jenis kera termasuk Bekantan,
Satwa Melata dan jenis burung, seperti: Raja Udang, Enggang, Ayam, Hutan dll.
Begitu pula dengan Kupu-Kupu dengan aneka warna yang menawan.
Arung Jeram dengan rakit bambu di sungai Amandit adalah puncak dari kegiatan
perjalanan setelah beberapa hari. Kegiatan inilah yang paling banyak disukai
oleh banyak wisatawan dan yang palinng mengesankan. Ada beberapa lokasi yang
bagus untuk memulai perjalanan dengan tingkat kesulitan dan waktu tempuh yang
bervariasi tergantung dari keinginan wisatawan itu sendiri.
Air Terjun Haratai
Air terjun Haratai terletak di desa Haratai, 8 km dari Loksado, atau lebih
kurang 15 menit perjalanan dengan jalan kaki dari Balai Haratai, dapat ditempuh
dengan memasuki hutan bambu dan perkebunan karet atau kayu manis.
Pintu
masuk menuju air terjun Haratai
Air terjun
Haratai
Air terjun tersebut bertingkat tiga
dengan ketinggian masing-masing 13 meter.
Panorama
indahnya air terjun Haratai dilihat dari kejauhan
Pengunjung dapat bermandi ria pada
telaga, tetapi dibagian bawah air terjunnya, atau hanya duduk-duduk diatas
bebatuan besar. Tersedia juga tempat ganti pakaian dan shel teruntuk
beristirahat.
Riam Berajang
Riam Berajang ini terletk di dekat balai adat Malaris Desa LokLahung kecamatan
Loksado, merupakan riam yang sangat deras.
Air Terjun Hanai
Wisata air terjun Riam Hanai di kawasan balai adat Malaris Desa LokLahung
kecamatan Loksado, merupakan air terjun yang sangat deras dengan ketinggian 4
meter. Untuk menuju ke lokasi obyek wisata Riam Hanai ini, setelah dari
pertigaan desa Hulu Banyu belok kanan. Dari pertigaan tersebut, jarak yang
ditempuh sekitar 7 km. Bagi anda yang menggunakan kendaraan roda 2 bisa
langsung menuju riam melewati balai adat Malaris kemudian jalan kaki 100 meter
menuju lokasi, namun bagi anda yang menggunakan kendaraan roda 4 terpaksa
singgah di depan desa LokLahung dan jalan kaki 300 meter menuju lokasi.
Pemandian Air Panas Tanuhi
Terletak di lembah pegunungan Loksado. Jaraknya sekitar 32.5 kilometer dari
pusat Kota Kandangan. Di sisinya mengalir sungai jeram nan jernih dan
dikelilingi tanaman yang menghijau.
Untuk menuju lokasi wisata pemandian
air panas Tanuhi tersebut sangat mudah, karena dapat ditempuh melalui jalan
darat. Anda bisa menggunakan mobil pribadi maupun angkutan pedesaan yang
tersedia di Kota Kandangan.
Tepat di pertigaan Desa Hulu Banyu, belok kiri setelah melalui sebuah jembatan
ulin. Dari pertigaan tersebut hanya sekitar 750 meter, letaknya tepat berada di
lembah pegunungan Loksado.
Dari pintu masuk, ada jembatan beton penghubung dari jalan ke lokasi wisata.
Dari atas jembatan terlihat jelas aliran sungai jeram yang masih alami dengan
pesona kehidupan masyarakat yang masih alami.
Jalan
masuk tanuhi
Kerap kali terlihat dari atas
jembatan ini ada masyarakat membawa lanting paring (rakit bambu) yang akan
dijual ke pasar lanting di Kandangan Hulu Kecamatan Kandangan Kota.
Ada 4 buah kolam pemandian yang terdapat di Tanuhi ini..
Kolam
pertama lebih panjang
Kolam
kedua merupakan kolam pemandian dengan air terpanas
Kolam
keempat adalah kolam tersurut airnya, karena ini merupakan kolam yang
diutamakan untuk anak-anak.
Selain tempat pemandian air panas,
Di Tanuhi ini Anda juga bisa menginap untuk menikmati sejuknya udara di lembah
alam Loksado ini pada waktu pagi hari. Di sini tersedia bangunan rumah mini
yang disebut dengan dengan bangunan khas cottage. Ada 10 buah cottage yang
tersedia untuk para pengunjung yang hendak menginap atau beristirahat.
Tempat
peristirahatan yang biasa disebut cottage
Ada dua jenis cottage pilihan.
Cottage tipe A kamarnya lebih luas dan ada fasilitas garasi mobilnya, sedang
cottage tipe B letaknya agak ke dalam dan tidak ada garasinya.
Air Terjun
Kilat Api
Air Terjun Kilat Api terletak di
desa Tanuhi, 1 km dari pemandian air panas Tanuhi. Bisa ditempuh dengan
kendaraan roda 2 atau roda 4.
Telaga Bidadari
Obyek wisata ini terletak di desa Telaga Bidadari Kecamatan Sungai Raya dengan
jarak kurang lebih 8 Km dari kota Kandangan yang dapat ditelusuri dengan roda
dua atau roda empat.
Telaga
Bidadari
Apabila kita jalan-jalan ke desa
Telaga Bidadari kita akan menemukan sumur tua yang airnya bersih dan tidak akan
kering walapun kemarau panjang, yang disebut orang Telaga Bidadari. Telaga ini
berukuran 3 x 2 meter dengan kedalaman 2 meter, terletak di kawasan tanah
pematang yang diteduhi pepohonan, khususnya pohon "limau" (jeruk)..
Telaga
Bidadari di lihat dari dekat
Berdasar cerita, penduduk Telaga
Bidadari merupakan keturunan bidadari, hasil pernikahan Datu Suling dengan
bidadari yang menjadi cikal bakal penduduk desa itu. Telaga atau sumur itu,
merupakan tempat mandi para bidadari.
Mitos lainnya, banyak orang datang ke Telaga Bidadari karena ingin enteng
jodoh. Dipercaya turun temurun, siapa yang mandi di telaga tersebut, laki-laki
atau perempuan, akan cepat mendapat jodoh.
Selain sentra pengrajin dodol, desa telaga bidadari juga penduduknya terutama
yang perempuan terkenal "bungas-bungas" (cantik-cantik) dan berkulit
putih, sehingga tidak mengherankan banyak orang luar dari desa-desa tetangga mengambil
menantu dari desa Telaga Bidadari.
Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada
penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang
bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Disepanjang jalan menuju Telaga Bidadari terdapat berbagai macam home industri
yang memproduksi kue kering, dodol, kuaci bigi waluh dan ketupat kandangan.
Cerita tentang Telaga Bidadari yang
lebih terurai dapat dibaca pada Legenda
Telaga Bidadari.
Gunung Batu Bini
Selain kawasan Loksado. Antara goa dan banyu panas bisa dibuat lintasan untuk
pejalan kaki menikmati kaki Gunung Batu Bini. Di situ ada Telaga Maulak yang
eksotis, sejuk dan pemandangan kaki bukit yang indah. Ada kekhasan aroma
pegunungan yang bercampur aroma batu gunung. Bagi orang yang haus ketenangan,
tempat itu akan menjadi daya tarik tersendiri.
Tidak jauh dari Banyu Panas ada sebuah gua yang disebut Gua Batapaan. Gua ini
terletak di bagian yang sangat curam dari Gunung Batu Bini. Letaknya tidak bisa
terlihat oleh orang yang memanjat tebing mendekati gua, sehingga harus
diarahkan oleh orang yang berada di bawah. Menurut cerita, di situ ada harta
peninggalan masa lalu. Ada beberapa orang yang mencoba memasukinya tetapi
selalu gagal. Begitu didekati gua itu menutup.
Gunung Batu Laki
Gunung Batu Laki terletak Desa Malutu, Kecamatan Padang Batung, 14 Km dari kota
Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Di kawasan Pegunungan Meratus, Gunung
Batu Laki merupakan salah satu tempat wisata alam andalan Kabupaten Hulu Sungai
Selatan. Dari puncak gunung inilah keindahan alam di sekitarnya bisa dinikmati
saat matahari terbenam atau terbit. Wisatawan atau pengunjung biasa yang datang
ke gunung karst ini barangkali hanya melihat onggokan batu kapur raksasa. Di
bawahnya, mereka bisa berkemah, membuat api unggun, dan makan bersama sambil
menikmati riak air Sungai Amandit yang bening. Kalau beruntung, mereka akan
menyaksikan para pembawa lanting paring (rakit bambu) untuk dijual ke
Kandangan. Tawaran wisata petualangan lainnya adalah melakukan perjalanan
mengunjungi kampung-kampung Dayak Meratus di Kecamatan Loksado. Para wisatawan
biasanya mengakhiri petualangan di daerah ini dengan menguji keberanian dan
menikmati sensasi petualangan dengan bamboo rafting untuk menaklukkan jeram
Sungai Amandit.
Asal Usul Gunung Batu Bini dan
Gunung Batu Laki
Pegunungan Meratus merupakan kawasan hutan alami yang terletak di Propinsi
Kalimantan Selatan. Pegunungan ini membentang dari arah Selatan di Kabupaten
Tanah Laut hingga ke Utara dekat perbatasan Kalimantan Timur dan Kalimantan
Tengah, luasnya diperkirakan lebih dari satu juta hektar. Di sebelah Barat Pegunungan
Meratus tersebut terdapat dua buah gunung yang dikenal dengan Gunung Batu Bini
dan Gunung Batu Laki. Menurut cerita masyarakat di sekitarnya, keberadaan kedua
gunung tersebut dikaitkan dengan sebuah peristiwa yang pernah terjadi di daerah
itu. Konon, kedua gunung tersebut berasal dari dua penggalan perahu layar milik
seorang anak durhaka yang bernama si Angui. Karena sumpah sakti seorang ibu
menjadikan si Angui, istri, beserta seluruh harta kekayaannya, berubah menjadi
batu. Kemudian kedua batu tersebut berubah menjadi dua buah gunung yang mirip
dengan bentuk sebuah perahu yang terpotong dua. Peristiwa itu dikemas dalam
sebuah cerita rakyat yang dikenal dengan cerita Batu Bini Batu Laki. Bagaimana
si Angui bisa durhaka terhadap ibunya, sehingga ia disumpah menjadi batu? Ingin
tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita berikut ini.
Alkisah pada zaman dahulu kala, daerah yang terletak di sebelah Barat lereng
Pegunungan Meratus pernah digengangi air yang dalam. Hanya ada satu daratan
yang tidak digenangi air. Daratan itu dihuni oleh sekelompok masyarakat. Di
salah satu rumah penduduk, tinggallah seorang janda tua bernama Diang Ingsun
dengan anak laki-lakinya bernama si Angui. Keluarga kecil ini hidup dari hasil
hutan dan dan sungai. Setiap hari Diang Ingsun mencari ikan di sungai dibantu
oleh anak tunggalnya, si Angui. Mereka juga mengumpulkan umbi-umbian untuk
dimakan. Jika ada sisa, mereka menjualnya kepada penduduk yang membutuhkan
untuk ditukar dengan beras.
Si Angui masih tergolong anak-anak. Ia selalu duduk di dalam jukung menyertai
ke mana saja ibunya pergi. Si Angui dan ibunya menjalani hidupnya penuh
keprihatinan. Waktu terus berjalan, tak terasa si Angui tumbuh menjadi dewasa.
Ibunya pun semakin tua. Mereka masih tekun bekerja. Kini, si Angui tidak hanya
membantu ibunya menangkap ikan. Ia juga setiap hari ke hutan mengumpulkan rotan
untuk dijual ke pedagang yang datang ke kampungnya. Sebelum rotan itu dijual,
terlebih dahulu ia bersihkan lalu diikatnya dengan rapi. Apa pun yang ia
kerjakan, ia selalu teringat dengan pesan ibunya sejak ia masih kecil: jika
mengerjakan sesuatu hendaklah selalu bersih dan rapi.
Suatu hari, merapatlah sebuah jung yang besar di pelabuhan kampung Angui. Jung
itu membawa berbagai barang dagangan untuk ditukar dengan bilah-bilah rotan,
damar, dan lilin yang dihasilkan oleh penduduk di daerah itu. Si Angui turut
pula menyerahkan sejumlah rotan miliknya untuk ditukarkan dengan garam, beras
dan gula merah. Tanpa disadari, ternyata salah seorang awak jung yang
berpenampilan rapi memerhatikannya dari kejauhan. Dia adalah pemilik jung itu.
Tak lama, dia pun memerintahkan anak buahnya agar si Angui datang menghadap
kepadanya. Anak buah itu pun menghampiri Angui. “Permisi anak muda! Saya
diperintahkan oleh juragan saya memanggil kamu untuk menghadap kepadanya,” sapa
anak buah itu sambil menunjuk ke arah juragannya. Angui pun menoleh ke arah
pemilik jung. Ketika mata Angui tertuju kepadanya, pemilik jung pun tersenyum
dan mengangguk-angguk, sebagai tanda bahwa ia benar-benar memanggil si Angui.
Setelah merasa yakin, Angui pun segera menghadap kepada pemilik jung itu. “Hai
anak muda! Siapa namamu?” tanya si pemilik perahu. “Penduduk kampung di sini
memanggilku Angui, Tuan!” jawab Angui malu-malu. “Begini Angui. Aku sangat
tertarik dengan bilah-bilah rotanmu. Batangnya cukup tua dan kering. Ikatannya
pun bersih dan rapi,” ujar si pemilik jung memuji rotan si Angui. Angui hanya
tersenyum dan bersikap hormat, lalu berkata, “Walaupun ibu saya tidak
berpengetahuan luas, ia selalu mengingatkan agar saya berbuat dan bekerja
dengan bersih dan rapi.”
Mendengar keterangan Angui, si pemilik jung merasa bahwa Angui adalah anak yang
cekatan dan terampil bekerja. Tanpa pikir panjang, ia pun berniat mengajaknya
untuk berlayar. “Hai, Angui! Jika kamu tidak keberatan, maukah kamu ikut
berlayar bersamaku?” tanya si pemilik perahu. Si Angui sangat senang mendengar
ajakan itu. “Wah...saya senang sekali, Tuan! Tapi, sebelumnya saya harus
meminta persetujuan ibu saya terlebih dahulu,” jawab Angui menanggapi ajakan
itu. “Baiklah, Angui. Besok pagi saya tunggu kamu di jung ini, kita pergi
berlayar bersama-sama,” ucap si pemilik kapal. Setelah itu, si Angui segera
pulang ke rumahnya untuk menyampaikan berita tersebut kepada ibunya.
Sesampainya di rumah, Angui pun langsung menceritakannya kepada ibunya. “Ibu,
tadi saya bertemu dengan si pemilik jung dagang di pelabuhan. Ia mengajakku
pergi berlayar bersamanya. Bagaimana menurut ibu?” tanya Angui dengan
hati-hati. “Ibu ingin melihat kamu berhasil, Nak! Ibu tidak keberatan jika kamu
turut berlayar,” ibunya memberi izin dengan tulus. “Tapi, jika kamu sudah
berhasil, cepatlah pulang! Ibu hanya tinggal sendirian. Ibu tidak punya
siapa-siapa lagi selain kamu, Anakku. Cepatlah kembali!” pinta ibunya.
Mendengar jawaban ibunya, Angui gembira bukan kepalang. “Terima kasih, Bu. Saya
akan selalu mengingat pesan ibu. Doakan saya berhasil ya, Bu!” seru Angui
sambil memeluk ibunya. “Besok pagi-pagi sekali, persiapkan segala keperluanmu,
Nak! seru ibunya. Si Angui mengangguk-angguk dengan senang. Namun, tiba-tiba ia
ingat sesuatu, ayam jago yang telah dipeliharanya sejak kecil. “Ibu, tolong
jaga dan rawat baik-baik ayam jagoku, ya! Biarlah ayam itu tidak saya bawa agar
Ibu selalu ingat kepada saya,” pinta Angui kepada ibunya. “Tentu, Anakku. Saya
akan merawatnya dengan baik sampai kamu kembali,” jawab Ibu Angui.
Keesokan harinya, Angui pun berangkat ke pelabuhan diantar ibunya. “Ibu, Angui
berangkat dulu. Jaga kesehatan ya, bu! Angui segera kembali jika sudah
berhasil,” ujar Angui memberi harapan seraya mencium tangan ibunya. “Ya,
naiklah segera ke jung. Sebentar lagi jungnya berangkat. Hati-hati ya, Nak!
Jangan lupa pesan Ibu. Cepatlah kembali!” seru Ibu Angui sambil melambaikan
tangan. Tak berapa lama, berangkatlah jung dagang itu bersama Angui. Jung itu
pun semakin jauh mengarungi air sungai yang dalam itu. Dari kejauhan tampak
seorang perempuan tua di pelabuhan yang sedang melambaikan tangan tak
henti-hentinya. Di atas jung, Angui pun membalas lambaian itu. Angui mengetahui
bahwa perempuan tua itu adalah ibu kandungnya yang sangat dicintainya. Sejak di
atas jung hingga menjauh dari pelabuhan, pandangan Angui tidak pernah lepas
tertuju kepada ibunya. Ia merasa berat berpisah dengan ibunya. “Maafkan Angui,
Ibu. Angui meninggalkan Ibu seorang diri. Tapi, ini demi kebaikan kita,” ucap
Angui meneteskan air mata.
Sudah bertahun-tahun si Angui ikut bekerja pada si pemilik perahu. Angui
senantiasa mengingat pesan ibunya. Setiap pekerjaan yang diberikan kepada
bosnya, diselesaikannya dengan rapi dan bersih. Karena kecekatan dan
ketelatenannya dalam bekerja, si Angui pun dinikahkan dengan anak si pemilik
perahu yang sudah tua itu. Tak lama sesudah menikah, si pemilik perahu pun
meninggal dunia. Seluruh harta kekayaannya diwarisi oleh si Angui bersama
istrinya. Maka, terkenallah si Angui dan istrinya sebagai saudagar yang
kaya-raya. Karena merasa sudah berhasil, Angui pun teringat dengan pesan
ibunya. Ia pun berniat untuk menjenguk ibunya yang tinggal jauh di kampung.
Niat baik tersebut disambut baik oleh istrinya dengan penuh harapan. “Kaka,
jadikan pelayaran ini sebagai kunjungan pertama ke rumah mertuaku,” ujar
istrinya. “Baiklah, Adingku. Perintahkan anak buah jung menyiapkan jung yang
paling besar dan barang-barang yang akan kita bawa,” jawab si Angui setuju.
Setelah itu, diperintahkannya seluruh anak buahnya untuk menyiapkan seluruh
keperluan selama pelayaran. Tak lupa pula mereka membawa berbagai macam barang
mewah untuk dihadiahkan kepada ibu Angui. Setelah semuanya siap, jung Angui pun
berangkat.
Beberapa hari kemudian, berlabuhlah jung yang megah itu di pelabuhan kampung
Angui. Orang-orang terkagum-kagum melihat kemegahan kapal itu. Banyak orang
yang bertanya-tanya, siapa gerangan pemilik kapal itu dan apa keperluan mereka
datang ke tempat itu. Rasa penasaran mereka hilang, ketika Angui dan istrinya
keluar dan berdiri di anjungan. Beberapa orang yang hadir di pelabuhan itu
mengenal ciri-ciri sosok si Angui. “Hei, lihat laki-laki yang berdiri di
anjungan bersama seorang wanita. Sepertinya dia itu si Angui. Coba perhatikan!
Tahi lalat di atas pelupuk mata kanannya, itu kan ciri khas si Angui,” seru
seorang yang sudah agak berumur. Semua yang hadir mengalihkan perhatiannya
kepada laki-laki itu. “Ya, benar. Dia adalah si Angui, anak Diang Ingsun. Aku
akan segera memberi tahu ibunya,” ujar penduduk lainnya. Belum beranjak dari
tempatnya, tiba-tiba sejumlah anak-anak menghambur berlarian menuju rumah nenek
tua itu, ibu si Angui, untuk menyampaikan berita itu. “Nek...Angui pulang...!
Angui pulang...!Anguiiii Pulaaang...! teriak anak-anak tersebut di luar gubuk
ibu Angui.
Mendengar teriakan itu, Diang Ingsun segera keluar dari gubuknya. Ia seakan
tidak percaya dengan berita yang ada. Ia kemudian mendekati anak-anak itu.
“Wahai, cucu-cucuku! Jangan membuat nenek kaget! Apa benar yang kalian katakan
itu?” tanyanya terpatah-patah. “Benar, Neeek...,” sahut anak-anak serempak.
“Jung Angui ada di pelabuhan!” tambah mereka. “Baiklah! Nenek segera ke sana,”
ujar Diang Ingsun. Setelah anak-anak tersebut kembali ke pelabuhan, nenek itu
pun masuk ke gubuknya. “Penampilanku sudah setua ini barangkali si Angui sudah
tidak bisa mengenalku lagi. Aku juga sudah tidak kuat berjalan ke pelabuhan.
Biarlah aku menaiki jukung rumpung ini. Aku akan berkayuh sekuatku. Mungkin ia
memang tidak mengenaliku, tapi jukung ini akan mengingatkannya kepada masa
kanak-kanaknya. Dulu, ia sering tiduran di jukung ini ketika aku sedang
menangkap ikan,” gumam Diang Ingsun. Ia juga tidak lupa membawa ayam jago milik
si Angui. “Ayam jago yang berumur panjang ini barangkali akan mengingatkan si
Angui kepada pesannya beberapa tahun lalu. Sebelum berangkat berlayar, ia
berpesan kepadaku untuk selalu merawat ayam ini hingga ia kembali,” Diang
Ingsan kembali bergumam.
Berangkatlah nenek itu ke pelabuhan dengan jukung rumpungnya. Seekor ayam
jantan bertengger di bagian depan jukungnya. Sesampainya di pelabuhan,
terdengarlah suara teriakan dari para pengunjung yang ada di pelabuhan, “Diang
Ingsun datang...Diang Ingsun datang...! Mendengar suara ribut-ribut di
pelabuhan, si Angui dan istrinya melongok ke bawah. Mereka melihat sebuah
jukung rumpung berhadapan dengan anjungan jungnya. “Siapa orang tua bersampan
itu, Kaka?” tanya istri Angui. “Entahlah, Adingku,” jawab si Angui singkat.
“Angui..., Anakku! Ini ibumu, Nak...!” teriak Diang Ingsun dari dalam
jukungnya. “Kaka, benarkah yang dikatakan perempuan tua itu?” tanya istrinya.
“Bukan. Perempuan tua itu bukan ibuku,” bantah Angui kepada istrinya. “Ibuku
tidak semiskin dan serenta itu!” tambah Angui. “Angui, ini ibu, Nak...!” nenek
renta itu berseru. Dari atas jungnya yang megah, si Angui berucap, “Hai,
perempuan tua, jangan mengaku-aku! Ibuku tidak seburuk kamu penampilannya!”
“Angui, Anakku! Engkau boleh tidak mengenali ibumu ini. Ayam jago kesayanganmu
sengaja Ibu bawa untuk mengingatkanmu, Nak! seru ibunya mengiba. “Tidak mungkin
ayam jagoku berusia setua itu. Jangan mengada-ada, wahai perempuan tua
pendusta!” bentak si Angui. Si Angui mulai berkeringat dingin. Ia sangat malu
kalau rahasianya terbongkar di hadapan istrinya. “Jukung ini adalah alat yang
dulu kita gunakan untuk mencari ikan. Apakah kamu lupa, Anakku?” tanya ibunya
lebih nyaring. Pertanyaan itu membuat si Angui semakin geram. “Persetan dengan
jukung rumpung itu!” balas si Angui. Kemudian, ia memerintahkan seluruh anak
buahnya untuk meninggalkan pelabuhan. “Angkat jangkar dan lepaskan semua tali.
Kita pergi dari sini. Aku muak melihat perempuan miskin itu!” seru si Angui.
Istrinya yang baik hati merasa iba terhadap nenek itu. “Kakaaa...kalau memang
perempuan tua itu ibu kandungmu, tidak mengapa. Ading akan menerimanya dengan
senang hati. Kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, karena Kaka
masih dipertemukan dengan ibu yang pernah mengandung, melahirkan, dan
membesarkanmu. Turunlah Kaka, rangkullah dia...! pinta istrinya mengiba kepada
si Angui. Mendengar permintaan istrinya, si Angui tetap saja berkeras hati
tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri. “Sudah kukatakan, aku tidak memiliki
orang tua seburuk itu. Tua renta itu hanya mengada-ada! bantah si Angui.
Tak lama kemudian, jung pun bergerak perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan. Si
Angui menarik paksa tangan istrinya agar masuk ke dalam kamar. Hatinya sakit,
karena rasa malu yang sangat. Akal sehatnya benar-benar sudah tertutup hingga
ia tega mengingkari kenyataan bahwa perempuan tua itu adalah ibu kandungnya
sendiri. Demikian pula perempuan tua yang malang itu. Hatinya hancur
berkeping-keping dibentak dan dicaci-maki, bahkan diingkari sebagai ibu oleh
anak kandungnya sendiri. Karena itu, ia menjadi putus asa. Sambil menangis, ia
berdoa, “Wahai, Tuhan Yang Mahakuasa. Jika si pemilik perahu itu memang si
Angui, anak kandung yang pernah kukandung sembilan bulan sepuluh hari di dalam
rahimku, celakakanlah dia karena telah berani menghina ibu kandungnya ini!
Dengan kekuasaan-Mu, biar jasad dan semua kekayaannya menjadi batu! Dia anak
durhaka...!” kutuk Diang Ingsun.
Baru saja doa itu diucapkan, tiba-tiba hujan turun dengan deras, disertai angin
kencang. Suara guntur bergemuruh, menggelegar bersahut-sahutan. Air laut pun
bergejolak dengan dahsyatnya. Jung yang ditumpangi si Angui dan seluruh isinya,
terombang-ambing oleh gelombang air laut itu. Hempasan gelombang yang dahsyat
itu membelah jung itu menjadi dua bagian. Satu bagian berisi istri si Angui
beserta dayangnya, satu bagian lagi dihuni oleh si Angui beserta anak buah jung
dan segala harta kekayaannya. Dari dalam jung terdengar suara teriakan si Angui
memanggil-mangggil ibunya dan meminta maaf. “Ibu..., Ibu..., maafkan aku, Bu!
Aku memang anakmu! Aku tidak akan mengulangi lagi!” Istri Angui pun turut
berteriak meminta maaf. Namun, teriakan mereka tidak dihiraukan oleh Diang
Ingsun. Ia terus mengayuh jukungnya menjauhi pelabuhan.
Si Angui sangat menyesali perbuatannya. Sayang, nasi sudah menjadi bubur.
Bencana pun tak terelakkan. Kapal yang besar dan megah itu tenggelam ke dasar
laut. Ketika air laut yang sempat menggenangi daratan rendah pelabuhan di
kampung si Angui berubah surut dan menjadi daratan, menyembullah
potongan-potongan kapal yang sudah berwujud batu. Potongan kapal yang berisi
istri Angui berubah menjadi gunung batu yang kemudian disebut Gunung Batu Bini,
sedangkan potongan kapal yang berisi Angui setelah menjadi batu disebut Gunung
Batu Laki. Tiang layarnya mencuat dan kemudian tumbuh menjadi pohon yang tinggi
di puncak Gunung Batu Laki. Sementara Diang Ingsun menjelma menjadi menjadi
burung elang mangkung berwarna hitam. Penduduk setempat sering melihat burung
itu hinggap di Gunung Batu Laki. Bila hari panas, burung elang itu selalu
berkulik-kulik, “Bulik...! bulik...! buliiiik...!”
Goa Berangin Malutu
Goa Berangin terletak di desa Malutu Kecamatan Padang Batung. Wisatawan dapat
menggunakan mobil atau motor ke lokasi ini dan ditempuh kurang lebih 45 menit
dari Kandangan. Jalannya cukup menantang, kadang kala mendaki dan menurun yang
cukup tajam. Di dalam goa terdapat air dan dapat dijelajahi dengan jalan kaki
atau menggunakan perahu atau jukung tradisional. Ketika kita berada di muara
dan di dalam goa tersebut, maka kita akan merasakan bertapa sejuk dan nyamannya
angin yang bertiup. Didalamnya terdapat ornamen-ornamen goa yang eksotik. Dari
atas puncak gunung dapat menyaksikan sunset maupun sunrise.
Gunung Kentawan
Gunung Kentawan lebih dikenal
sebagai lambang sari kawasan Loksado karena letaknya strategis dan dapat
dilihat dari berbagai penjuru. Gunung ini adalah kawasan hutan lindung berupa
gunung batu yang ditumbuhi pepohonan disekelilingnya, letak kawasan ini sekitar
28 Km dari kota Kandangan, dan untuk mencapainya hanya jalan kaki lewat Desa
Lumpangi, muara Hanip atau Datar Belimbing (Hulu Banyu). Dengan memiliki luas
sekitar 245 ha, didalamnya terdapat aneka jenis flora termasuk anggrek Hutan
dan fauna yang dilindungi seperti Bekantan, Owa-Owa, Raja Udang (Halcyon SP) dll.
WISATA SEJARAH / WISATA BUDAYA
Balai Adat Malaris
Balai Adat Malaris Desa LokLahung Kecamatan Loksado merupakan balai
terbesar di wilayah Pegunungan Meratus dengan ukuran 45 x 45 meter. Balai yang
dibangun pada tahun 2007 ini, merupakan balai terbesar yang dimiliki oleh
masyarakat Dayak Loksado. Di balai inilah, setiap tahun ritual aruh penutup
atau yang biasa disebut dengan aruh ganal dilaksanakan dengan hikmat dan penuh
dengan berbagai sesajen. Berjarak 1 km dari Loksado, balai ini dulunya dihuni berpuluh-puluh
keluarga besar, namun mungkin karena perkembangan jaman dan majunya
perekonomian mereka, keluarga-keluarga tersebut telah pindah dan masing-masing
mendirikan rumah yang tidak jauh dari balai. Sekarang balai adat malaris ini
hanya digunakan untuk pertemuan-pertemuan dan acara ritual.
Balai Adat Haruyan
Balai Adat Haruyan merupakan salah satu balai adat besar yang ada di Kecamatan
Loksado. Balai Adat Haruyan ini terletak di desa Tumiking/Kamawakan, 4 km dari
Loksado.
Balai adat ini dulunya dihuni sekitar 12 kepala keluarga, namun karena
perkembangan jaman dan majunya perekonomian rakyat di desa Haruyan ini, maka
sebagian besar kepala keluarga ini sudah pindah tempat dan masing-masing
mendirikan rumah di sekitar balai. Kehidupan atau mata pencaharian masyarakat
di desa Haruyan ini selain bercocok tanam, mereka juga berkebun, menyadap
karet, rotan, kayu manis, dll.
warga suku dayak haruyan loksado
Nagara
Nagara terletak di Kecamatan Daha Selatan, 30 km dari kota Kandangan. Nagara
merupakan kota kecil yang ditempati Sungai Nagara (cabang Sungai Barito) dan
sering meluap. Karena itu, rumah penduduk di tenpat ini umumnya adalah rumah
yang dibangun di atas tiang-tiang tinggi. Pada saat musim hujan, hampir seluruh
bagian kota tertutup air kecuali jalan yang sengaja dibuat tinggi, namun pada
puncak musim hujan, permukaan jalan juga tertutup air sehingga Nagara berubah
menjadi semacam “Kota Air”.
Menurut catatan sejarah, Nagara yang terletak tidak jauh dari kota Kandangan,
merupakan ibukota dari kerajaan pertama di Kalimantan Selatan bernama Nagara
Dipa sebelum dipindahkan oleh Pangeran Samudera ke Bandarmasih yang kemudian
berkembang menjadi Kota Banjarmasin saat ini. Nagara juga menjadi pusat
kerajinan senjata tajam seperti pedang, golok dan keris. Para pengrajin
ditempat ini mampu menghasilkan berbagai jenis senjata tajam seperti Mandau
dengan bentuk yang indah dilengkapi dengan sarungnya.
Mandau adalah pedang tradisional suku Dayak yang dibuat di Desa Hadirau dan
Tumbukan Banyu. Pembuatannya memnggunakan peralatan sederhana dan diselesaikan
sekelompok pengrajin dan Mandau hanya di buat untuk hiasan. Tapi adapula Mandau
yang khas dibuat sendiri oleh ahlinya dan pedang ini dipercayai memiliki
kekuatan magis yang diisi melalui upacara ritual.
pembuatan
senjata tajam di desa tumbukan banyu
Pembuatan gerabah terletak di Desa Bayanan tidak jauh dari Pasar Nagara,
pengunjung bisa menyaksikan setiap tahapan pembuatan dengan peralatan sederhana
atau bahkan pengunjung bisa memcoba ikut untuk pembuatannya. Pengrajin biasanya
membuat bermacam-macam bentuk Tembikar dan yang terkenal adalah Dapur Nagara
atau Anglo.
Situs amuk Hantarukung (Makam Tumpang Talu)
Makam Tumpang Talu terletak di Parincahan, Kelurahan Kandangan Barat.
Amuk Hantarukung salah satu momen sejarah yang mengingatkan warga Kalsel
terutama Hulu Sungai Selatan Kandangan, tentang kegigihan perjuangan rakyat
setempat yang dimotori Bukhari dan kawan-kawan melawan penjajah Belanda.
Semangat Amuk Hantarukung dalas batapung tali salawar dalas balangsar dada tak
mau dijajah ini.
Situs amuk Hantarukung (Makam Tumpang Talu)
SEJARAH AMUK HANTARUKUNG
Bukhari dari Hantarukung (lahir : 1850 di Hantarukung, Simpur, Hulu Sungai
Selatan, wafat : 19 September 1899 di Hantarukung, Simpur, Hulu Sungai
Selatan). Bukhari adalah salah seorang pejuang Perang Banjar yang memimpin
perlawanan rakyat yang disebut Amuk Hantarukung yang terjadi di masa Sultan
Muhammad Seman bin Pangeran Antasari. Ayah Bukhari bernama Manggir dan ibu
bernama Bariah kelahiran desa Hantarukung, dalam wilayah Kecamatan Simpur,
Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Bukhari dilahirkan sekitar
tahun 1850 dan semasa mudanya mengembara ke Puruk Cahu (Murung Raya, Kalimantan
Tengah) mengikuti pamannya Kasim yang menjadi panakawan (asisten) dari Sultan
Muhammad Seman. Sejak itu Sultan Muhammad Seman menjadikan Bukhari sebagai
panakawan (asisten) Sultan, dan Bukhari ikut berjuang di daerah Puruk Cahu,
Kalimantan Tengah.
Bukhari seorang yang setia mengabdikan dirinya. Ia orang yang dipercaya sebagai
Pemayung Sultan. Ia dikenal di kalangan istana sebagai seorang yang mempunyai
ilmu kesaktian dan kekebalan. Bahkan tersiar berita bahwa dengan ilmunya itu
kalau ia tewas dapat hidup kembali. Ilmu ini diajarkan kepada siapa yang
menjadi pendukungnya. Adanya kelebihan-kelebihan Bukhari tersebut, menyebabkan
dia dan adiknya bernama Santar mendapat tugas untuk menyusun dan memperkuat
barisan perlawanan rakyat terhadap Belanda di daerah Banua Lima, Kalimantan
Selatan.
Menyusun Kekuatan Rakyat.
Dengan membawa surat resmi dari Sultan Muhammad Seman, Bukhari dan adiknya
Santar datang ke desa Hantarukung untuk menyusun suatu pemberontakan rakyat
terhadap pemerintah Belanda. Kedatangan Bukhari diterima hangat oleh penduduk
desa Hantarukung. Dengan bantuan Pangerak Yuya, Bukhari berhasil mengorganisir
kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Sebanyak 25 orang penduduk telah
menyatakan diri sebagai pengikutnya, dan di bawah pimpinan Bukhari dan Santar
siap untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Gerakan Bukhari ini
bahkan kemudian mendapat dukungan selain penduduk Hantarukung, juga penduduk
kampung Hamparaya dan Ulin. Sehubungan dengan itu alasan perlawanan yang
dikemukakan bahwa penduduk dari tiga kampung itu tidak bersedia lagi melakukan
kerja rodi . Sikap penduduk dan tindakan Pangerak Yuya yang tidak mau
menurunkan kuli (penduduk) untuk menggali garis antara Amandit-Negara tersebut,
kemudian dilaporkan oleh Pambakal Imat kepada Kiai (gelar kepala distrik),
karena yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat, Pambakal melaporkan kepada
Controleur Belanda di kota Kandangan.
Perlawanan Rakyat 18 September 1899
Penguasa Belanda di Kandangan sangat marah mendengar berita itu pada tanggal 18
September 1899 berangkatlah rombongan penguasa Belanda yang terdiri dari
Controleur Adsenarpont Domes dan Adspirant K. Wehonleschen beserta 5 orang
Indonesia (opas dan pambakal) yang setia kepada Belanda. Dengan menaiki kereta
kuda dan diikuti yang lainnya Controleur Adsenerpont Domes ke desa Hantarukung
menemui Pangerak Yuya. Pangerak yang telah bekerja sama dengan Bukhari untuk
melawan pemerintah Belanda ini ketika dipanggil oleh Controleur keluar dari
rumahnya dengan tombak dan parang tanpa sarung. Setelah terjadi tanya jawab
mengenai mengapa penduduk tidak mengerjakan lagi gerakan menggali garis
Amandit-Negara, tiba-tiba muncul ratusan penduduk di bawah pimpinan Bukhari dan
Santar sambil mengucapkan shalawat nabi maju ke arah Controleur dengan senjata
tombak, serapang (trisula) dan lain-lainnya.
Dalam peristiwa itu telah terbunuh tuan Controleur Domes dan Adspirant
Wehonleshen serta seorang anak emasnya. Sementara 4 orang lainnya dapat
melarikan diri. Mereka itu antara lain opas Dalau dan Kiai Negara (kepala
Distrik Negara). Peristiwa tanggal 18 September 1899 ini terkenal dengan
Pemberontakan Amuk Hantarukung yang dipelopori oleh Bukhari, seorang yang
secara resmi diperintahkan oleh Sultan Muhammad Seman dengan mengirimkan ke
desa asal kelahirannya Hantarukung.
Perlawanan Rakyat 19 September 1899.
Peristiwa 18 September 1899 dengan terbunuhnya Controleur dan Adspirant Belanda
segera sampai kepada pejabat-pejabat Belanda di kota Kandangan. Kemarahan pihak
Belanda tidak dapat terbendung lagi. Besok harinya pada hari Senin tanggal 19
September 1899 sekitar pukul 13.00 siang hari pasukan Belanda datang untuk
mengadakan pembalasan terhadap penduduk. Serangan pembalasan tersebut dipimpin
oleh Kiai Jamjam putera daerah sendiri, dengan diperkuat oleh 2 Kompi serdadu
Belanda bersenjata lengkap. Penduduk desa Hantarukung telah menyadari pula
peristiwa yang akan terjadi. Beratus-ratus penduduk di bawah pimpinan Bukhari,
Santar dan Pengerak Yuya siap dengan senjata mereka di pinggiran hutan dan
keliling danau menanti kedatangan pasukan Belanda. Ketika sampai di desa
Hantarukung di suatu awang persawahan, melihat keadaan sepi, Kapten Belanda
melepaskan tembakan peringatan agar penduduk menyerah. Pada waktu itulah
Bukhari bersama-sama Haji Matamin dan Landuk tampil dengan senjata terhunus
maju menyerbu musuh sambil mengucapkan Allahu Akbar berulang-ulang. Tindakan
Bukhari tersebut diikuti para pengikutnya yang sudah siap untuk berperang,
pertempuran sengit terjadi. Bukhari, Haji Matamin dan Landuk dan Pengerak Yuya
gugur di tembus peluru Belanda. Melihat pemimpin-pemimpin mereka terbunuh
penduduk lari menyelamatkan diri. Dalam peristiwa 2 hari di Hantarukung
tersebut telah terbunuh masing-masing di pihak Belanda adalah Controleur Domes,
Adspirant Wehonleschen dan seorang pembantunya. Sementara dari pihak penduduk
telah gugur : Bukhari, Haji Matamin, Landuk, Pangerak Yuya.
Penangkapan Penduduk oleh Belanda
Peristiwa ini berlanjut dengan terjadinya pembersihan secara kejam oleh Belanda
terhadap penduduk yang terlibat terutama penduduk di desa Hantarukung,
Hamparaya, Ulin, Wasah Hilir dan Simpur. Penangkapan segera dijalankan oleh
militer Belanda. Mereka yang ditangkapi tersebut berjumlah 23 orang yakni :
Hala, Hair, Bain, Idir, Sahintul, H. Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas,
Tanang, Tasin, Bulat, Sudin, Matasin, Yasin, Usin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan
dan Atmin. Selanjutnya yang mati di dalam penjara adalah : Hala, Hair, Bain,
dan Idir. Sedangkan yang mati digantung adalah : Sahitul, H. Sanaddin, Fakih,
Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang dan Tasin. Mereka yang dibuang keluar daerah
adalah: Bulat, Suddin, Matasin, Yasin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnin, dan
Santar. Jenazah Bukhari, Landuk dan Matamin dimakamkan di Kampung Perincahan,
Kecamatan Kandangan, Hulu Sungai Selatan yang dikenal dengan makam Tumpang
Talu. Sedangkan sembilan orang dihukum gantung oleh Belanda tersebut dimakamkan
di kuburan Bawah Tandui di Kampung Hantarukung di Kecamatan Simpur, Hulu Sungai
Selatan.
Rumah bersejarah Durian Rabung
Rumah bersejarah ini terletak di desa Durian Rabung Kecamatan Padang Batung,
berjarak sekitar 8 Km dari kota Kandangan. Rumah ini milik H.Abdul Kadir (Kai
Jabus) yang digunakan sebagai tempat Rapat Pimpinan Markas Besar ALRI Divisi IV
Pertahanan Kalimantan. Kadang-kadang Bapak Gerilya Kalimantan Brigjen H. Hassan
Basry beristirahat di rumah ini.
Rumah bersejarah Durian Rabung
Kondisi rumah besejarah ini sukup memprihatinkan dan secara bertahap telah
direnovasi baik oleh Pemda Hulu Sungai Selatan maupun Pemda Propinsi Kalimantan
Selatan tanpa merubah bentuk dantata ruang. Di halaman bagian depan rumah
bersejarah ini telah dibangun Tugu Peringatan peristiwa Rapat Pimpinan markas
Besar ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan.
Benteng Madang
Jika anda jalan-jalan ke kecamatan Padang Batung sebalah utara akan bertemu
dengan sebuah desa yang bernama Madang dengan dataran cukup tinggi menyerupai
sebuah gunung. Dataran tinggi tersebut kemudian di tata dan dibuat oleh
Tumenggung Antaluddin atas permintaan dari Pangeran Hidayatullah dan Demang
Lehman kemudian dijadikan benteng pertahanan pasukan Pangeran Hidayatullah dan
Demang Lehman dalam menghadapi serangan serdadu Belanda.
Tercatat ada lima kali serangan yang dilakukan oleh serdadu belanda dan
semuanya dapat dikalahkan oleh pasukan Pangeran Hadayatullah dan Demang Lehman.
Serangan-serangan serdadu Belanda dilakukan pada tanggal 3,4,13,18 dan 22
september 1860. Pada serangan yang keempat tanggal 18 September 1860, pasukan
infantry serdadu bgelanda yang dipimpin oleh Kapten Koch dihajar habis-habisan
oleh pasukan Pangeran Hidayatullah dan Demang lehman, sehingga banyak serdadu
Belanda yang tewas termasuk Kapten Koch.
Benteng Madang
Saat ini Benteng Madang telah ditata dan direnovasi oleh Pemda HSS dengan
anak tangga lebih dari 400 buah dan dapat dijelajahi dengan menggunakan mobil
dengan jarak ± 8 Km dari Kota Kandangan.
Riwayat Benteng Madang
Tumenggung Antaluddin adalah seorang panglima perang dalam Perang Banjar dengan
pusat perjuangan di kawasan Gunung Madang di kabupaten Hulu Sungai Selatan,
Kalimantan Selatan.
Pada masa itu Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman meminta kepada Tumenggung
Antaluddin untuk membuat benteng pertahanan di Gunung Madang. Pasukan Pangeran
Hidayatullah, Demang Lehman dan pasukan Tumenggung Antaluddin terkumpul di
sekitar benteng ini pada bulan September 1860.
Pertempuran Gunung Madang 3 September 1860.
Persiapan benteng pertahanan di Gunung Madang ini diketahui oleh Belanda
sehingga datanglah serangan pasukan Belanda secara mendadak pada 3 September
1860, sementara benteng belum selesai dibangun. Serdadu Belanda menyelusuri
kampung Karang Jawa dan Ambarai dan langsung menuju Gunung Madang. Serdadu
Belanda terkejut, ketika baru mendekati bukit itu serangan mendadak menyebabkan
beberapa serdadu Belanda tewas. Sekali lagi serdadu Belanda mendekati bukit
tetapi sebelum sampai serangan gencar menyambutnya, sehingga tentara Belanda
mundur kembali ke benteng Amawang.
Pertempuran Gunung Madang 4 September 1860
Keesokan harinya tanggal 4 September 1860 pasukan infantri dari batalyon ke-13
mengadakan serangan kedua kalinya. Serdadu Belanda ini dilengkapi dengan mortir
dan berpuluh-puluh orang perantaian untuk membawa perlengkapan perang dan
dijadikannya umpan dalam pertempuran. Serdadu Belanda melemparkan 3 biji granat
tetapi tidak berbunyi, dan disambut dengan tembakan dari dalam benteng Gunung
Madang. Di dalam benteng Gunung Madang terdapat pula beberapa orang perantaian
yang lari memihak pasukan Pangeran Hidayatullah ketika terjadi pertempuran di
Pantai Hambawang yang terjadi sebelumnya. Ketika Letnan de Brauw dan Sersan de
Vries menaiki kaki Gunung Madang, dia hanya diikuti serdadu bangsa Eropah
sedangkan serdadu bangsa bumiputera membangkang tidak ikut bertempur Letnan de
Brauw kena tembak di pahanya, dan 9 orang serdadu Eropah terkapar kena tembak
dari arah dalam benteng. Setelah Letnan de Brauw kena tembak, serdadu Belanda
mundur dan kembali ke benteng di Amawang. Serangan ketiga dilakukan beberapa
hari kemudian setelah Belanda memperoleh bantuan dari Banjarmasin dan Amuntai.
Pertempuran Gunung Madang 13 September 1860.
Pada tanggal 13 September 1860 Belanda melakukan kembali serangannya terhadap
benteng Gunung Madang. Serangan ini dipimpin oleh Kapten Koch dengan
perlengkapan meriam dan mortir. Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin
mempersiapkan menunggu serangan Belanda sedangkan Pangeran Hidayatullah
mengatur strategi untuk menghadapinya. Pertempuran ini terjadi dalam jarak
dekat, tetapi Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin dengan gagah berani
menghadapinya. Ketika bunyi senapan dan meriam bergema, tiba-tiba roda
meriamnya hancur kena tembakan. Kapten Koch mempertimbangkan untuk mundur
kembali ke benteng Amawang. Kegagalan serangan Kapten Koch ini tersebar sampai
ke Banjarmasin, sehingga G.M. Verspyck memerintahkan Mayor Schuak menyiapkan
pasukan infantri dari batalyon ke 13 yang terdiri dari 91 opsir bangsa Eropah.
Pertempuran Gunung Madang 18 September 1860
Pada tanggal 18 September 1860 Mayor Schuak membawa pasukan dengan dibantu
Kapten Koch menyerang Gunung Madang. Belanda membawa sebuah howitser, sebuah
meriam berat dan mortir. Menjelang pukul 11.00 siang hari Demang Lehman memulai
menyambut serdadu Belanda dengan tembakan. G.M. Verspyck yang berani mendekati
benteng dengan pasukannya, kena tembak oleh anak buah Tumenggung Antaluddin,
akhirnya mengundurkan diri membawa korban. Selanjutnya Kapten Koch
memerintahkan memajukan meriam. Dengan jitu peluru mengenai serdadu pembawa
meriam itu, dan jatuh terguling. Setelah pasukan meriam gagal, dilanjutkan
dengan pasukan infantri mendapat giliran maju. Kapten Koch yang memimpin
pasukan infantri maju, kena tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dengan
jatuhnya Kapten Koch tersebut serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan
komando. Mereka dengan bergegas menggotong mayat Koch dan berlari meninggalkan
medan pertempuran, langsung mengundurkan diri kembali ke benteng Amawang.
Setelah serangan keempat ini gagal, Belanda mempersiapkan kembali untuk
penyerangan yang kelima Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin juga
mempersiapkan siasat apa yang diambil untuk menghadapi serangan secara
besar-besaran keluar dan tidak terpusat bertahan dalam benteng saja. Demang
Lehman mendapat bantuan dari Kiai Cakra Wati pejuang wanita yang selalu
menunggang kuda yang berasal dari daerah Gunung Pamaton (Distrik Riam Kanan).
Pertempuran Gunung Madang 22 September 1860
Serangan kelima terjadi pada tanggal 22 September 1860. Belanda mempersiapkan
dengan teliti, belajar dari kegagalan empat kali penyerangannya. Belanda
mempersiapkan mendirikan bivak-bivak dan perlindungan pasukan penembak meriam
dengan sistem pengepungan benteng Gunung Madang. Pertempuran baru terjadi
keesokan harinya dengan tembakan meriam dan lemparan granat. Pada pagi hari itu
pertempuran tidak begitu seru, tetapi menjelang pukul 11.00 malam hari,
tiba-tiba Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin mengadakan serangan
besar-besaran dengan meriam dan senapan. Tembakan itu terus menerus bersahutan
sampai menjelang subuh. Karena serangan yang gencar itu Belanda kehilangan
komando apalagi malam hari yang gelap gulita. Pasukan Belanda kocar-kacir.
Situasi yang tegang ini dipergunakan Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin
beserta pasukannya keluar benteng dan menyebar keluar meninggalkan benteng, dan
selanjutnya berpencar. Kiai Cakrawati meneruskan perjalanan ke Gunung Pamaton
yang kemudian terlibat pula dalam pertempuran di Gunung Pamaton. Alangkah
kecewanya Belanda ketika dengan hati-hati memasuki benteng untuk menghancurkan
kekuatan Demang Lehman dan pasukannya ternyata benteng sudah kosong, hanya
ditemukan satu orang mayat yang ditinggalkan.
Balai Amas dan Batu Beranak
Balai Amas dan Batu Beranak ini terletak di desa Pantai Ulin Kecamatan Simpur,
7 km dari kota Kandangan. Asal mula cerita Balai Amas (Balai Emas) ini
merupakan sebuah tempat berdirinya pohon Ulin yang sangat besar.
Dahulu kala, disebuah pohon Ulin yang sangat besar ini hidup seekor burung
Garuda yang setiap waktu kerjaannya memakan anak bayi yang masih di dalam
ayunan. Karena semakin lama semakin meresahkan, para penduduk kampung
bersepakat untuk memikirkan cara bagaimana menyingkirkan burung Garuda
tersebut. Pohon Ulin itu mempunyai 6 x 6 meter.
Foto balai disamping ini mencerminkan besarnya ukuran pohon kayu
ulin tersebut
Berbagai macam peralatan dicobakan untuk menebang pohon ulin tersebut tetapi
tidak satupun yang mampu menggores batang kayunya. Akhirnya ada seorang tetuha
kampung setempat mencoba menumbangkan pohon tersebut dengan sebilah pisau. Dikorek
perlahan-lahan akar pohon ulin tersebut dengan hanya menggunakan sebilah pisau
kecil tidak disangka-sangka pohon Ulin raksasa inipun roboh bersama burung
Garuda di atasnya. Konon, saking tinggi dan besarnya pohon Ulin ini pucuknya
sampai roboh ke daerah Marabahan, Barito Kuala (± 50 km dari Banjarmasin, ± 200
km dari Kandangan), sehingga nama daerah itu disebut Marabahan yang berarti
tempat rabah (roboh) pohon Ulin tadi.
Setelah keadaan aman, bekas tumbuh pohon Ulin tadi dibuat sebuah balai. Di
balai inilah sejak dulu diadakan berbagai macam selamatan dan acara adat setiap
tahunnya.
Di kampung ini juga ada dua buah tempat yang diyakini penduduk memiliki
kesaktian, yaitu Batu Beranak.
.
Tempat batu beranak ini asalnya tidak ada apa-apa, tiba-tiba bermunculan
batu-batu memenuhi tempat tersebut sehingga oleh penduduk setempat diberi gelar
Batu Beranak. Konon, ukuran batu yang ada disini bisa tumbuh berkembang sampai
akhirnya melahirkan batu kecil di sekelilingnya, begitu seterusnya seperti
siklus hidup manusia.
Pernah ada yang iseng-iseng mencoba mengukur batu tersebut, setiap hari Jumat
batu yang sama diukur dan menurut keterangan para saksi batu yang diukur
tersebut memang terus bertambah ukurannya. Pernah juga ada orang yang mengambil
untuk dibawa pulang ternyata beberapa hari kemudian batunya hilang setelah
diperiksa batu yang sama kembali ke tempatnya semula.
Demikian sekilas oleh-oleh cerita dari kampung dan memperkenalkan tempat yang
diyakini masyarakat setempat sebagai tempat berkeramat sebagai bagian dari
kekayaan budaya Banjar.
Bagi yang penasaran, silakan untuk mengunjungi dua tempat tersebut. Pisau yang
digunakan untuk merobohkan pohon Ulin tadi masih disimpan secara turun temurun
oleh penduduk kampung, bila berkunjung ke sana bisa mencari informasi lebih
lanjut.
WISATA RELIGIUS
Aruh Adat (Aruh Ganal) Di Loksado
Aruh Adat (Aruh Ganal) penduduk dayak meratus di Loksado dipusatkan di balai
adat Malaris di desa LokLahung yang biasanya diadakan pada bulan September
setiap tahunnya. Balai Adat Malaris merupakan balai adat terbesar di desa
Loksado. Merupakan tempat ritual adat dayak Meratus yang diadakan tiap tahun.
Ritual yang dimaksud adalah acara yg diselenggarakan sebagai ucapan terima
kasih kepada Sang Pecipta atas anugrah hasil alam di Loksado kepada mereka.
Aruh adat penduduk dayak meratus Loksado ini biasanya dilakukan satu tahun tiga
kali yaitu pada saat akan menanam padi, pada saat panen, dan penutup semua
aruh.
Aruh Ganal adalah aruh penutup bagi pelaksanaan semua aruh yang dilaksanakan
dengan hikmat dan penuh dengan berbagai sesajen. Prosesi pelaksanaan aruh juga
menjadi perhatian seluruh masyarakat dayak yang ada di Banua Anam. Selain itu,
para pengiat alam bebas dan masyarakat yang berkunjung ke Loksado juga banyak
yang datang ke Balai Malaris.
Selain itu, para tokoh dan tetua adat di berbagai balai dan kabupaten kota
terlihat hadir. Kendati kehadiran mereka tidak ikut dalam pelaksanaan prosesi
aruh ganal secara langsung, namun kehadiran mereka sudah meligitimasi
keberadaan ritual aruh penutup yang dilaksanakan masyarakat Desa Malaris.
”Kegiatan ini adalah kegiatan ritual penutupan pelaksanaan segala aruh. Kami
para tetua hanyalah menyaksikan kegiatan ini berlangsung,” ujar Normansyah
pemuka adat dari Balai Uling-uling Loksado.
Adapun aruh yang dilaksanakan selama satu tahun ada tiga kali, yaitu:
Pertama adalah aruh Basambu, biasanya diadakan pada bulan Januari atau
februari. Dalam prosesi ini, aruh untuk berterima kasih kepada Tuhan yang Maha
Kuasa, karena berkat keridoannya maka tanaman padi yang ditanam menjadi tumbuh
subur dan dapat dinikmati oleh masyarakat. Dalam pelaksanaan aruh ini,
masyarakat Dayak yang mengikuti ritual aruh saling memberikan beras kepada para
pendatang. Tanda ungkapan gembira karena panen yang mereka laksanakan berlimpah..
Kedua adalah Bawang, dilaksanakan pada bulan Juni. Aruh ini untuk panen padi,
dimana dalam aruh ini sejumlah masyarakat dayak akan melakukan panen padi
pertama. Di dalam aruh penen ini, masyarakat juga memasak beberapa bumbung
lamang, selanjutnya lamang-lamang tersebut dipotong-potong untuk dibagikan
kepada para pendatang. Lamang yang dibagikan ini tanda ikatan kekeraban yang
ada pada masyarakat Dayak. Selain itu, lamang yang dipotong-potong ini juga
adalah bagian dari ucapan terima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan
rezeki yang berlimpah.
Pada aruh ketiga yang dilaksanakan pada bulan September, dikenal dengan aruh
penutup atau aruh ganal (aruh bawanang), dimana aruh tersebut adalah bagian
dari penutup semua aruh yang pernah dilaksanakan. Jika pada aruh kecil hanya
dirayakan sehari semalam, aruh penutup ini diselenggarakan sepekan penuh, siang
malam, dengan diiringi tabuhan kendang dari berbagai sudut, para tokoh adat
berdoa (bamamang) sambil menari (batandik) mengelilingi pusat balai yang merupakan
simbol makrokosmos. Selama tujuh hari tujuh malam mereka mengadakan upacara
tidak pernah lelah. Hal ini disebabkan karena mereka menghadap sang pencipta
dengan khusu, iklas, penuh keyakinan, tidak memikirkan dunia, dan menghirup
angin surga. Dalam pelaksanaan aruh penutup, tokoh masyarakat akan memotong
ayam hitam dimana darahnya dibiarkan berserakan ke sangar panunjang, sebagai
bukti bakti masyarakat dayak kepada sang hyang widi. Para warga duduk melingkar
balai meminta berkah dan rezeki menghadapi tahun tanam baru.
Diharapkan, dengan adanya pengorbanan darah ayam hitam ini dapat menolak semua
bencana yang akan menimpa seluruh masyarakat.
Masjid Baangkat
Mesjid Su’ada atau Mesjid baangkat didirikan oleh Al Allamah Syekh H. Abbas dan
Al Allamah Syekh H. Said bin Al Allamah Syekh H. Sa’dudin pada tanggal 28
Zulhijjah 1328 H bersamaan dengan tahun 1908 M yang terletak di desa Wasah
Hilir Kecamatan Simpur yang jaraknya ± 7 km dari kota Kandangan. Masjid ini
didirikan di atas tanah wakaf milik Mirun bin Udin dan Asmail bin Abdullah
seluas 1047,25 m persegi.
Bentuk bangunan induk masjid su’ada yakni persegi empat, bertingkat tiga,
mempunyai loteng menutup gawang/puncah dan petala/petaka yang megah. Semua itu
memunyai makna tertentu sebagai berikut:
a. Tingkat pertama mengandung makna Syariat
b. Tingkat kedua mengandung makna Thariqat
c. Tingkat ketiga mengandung makna Hakikat
d. Loteng mengandung makna Ma’rifat
e. Petala/petaka yang megah berkilauan yang dihiasi oleh cabang-cabang yang
sdang berbunga dan berbuah melambangkan kesempurnaan Ma’rifat.
Banyak peristiwa yang terjadi seolah-olah aneh, tidak rasional tapi nyata
ketika akan dan sedang dalam pembangunan masjid tersebut, seperti angin topan
bertiup luar biasa keras dan derasnya yang menyebabkan sebatang pohon asam yang
besar telah condong sekali akan menmpa rumah Al Allamah Syekh H. M. Said
(pendiri masjid Su’ada). Dilihat kejadian ini, Al Allamah tersebut mendekati
pohon tersebut dan mendorongnya dengan berlawanan arah, maka dengan pertolongan
Allah SWT angin topan yang dahsyat itu berbalik arah sehingga pohon asam ini
tumbang dan selamatlah ulama tersebut.
Kejadian lain yakni salah satu tiang utama masjid kurang panjang ± 10 cm,
sehingga mengalami kesulitan untuk pendirian bangunan masjid. Dengan izin Allah,
keesokkan harinya tiang tersebut menjadi bertambah panjang sesuai kebutuhan.
Peristiwa lainnya, yakni ditengah perjalanan antara Kalumpang dan Negara,
rombongan Al Allamah Syekh H. M. Said kehabisan ikan untuk makan, tiba-tiba
seekor ikan besar melompat ke perahu mereka dan akhirnya mereka mempunyai ikan
untuk makan bersama. Kejadian lainnya yakni rombongan tersebut pada malam hari
di perahu tidak bisa tidur karena kenyamukan, tiba-tiba dengan pertolongan
Allah SWT, ternyata nyamuk tersebut menghilang, sehingga rombongan Al Allamah
Syekh H. M. Said dapat tidur.
Makam Datu Taniran
Jika anda berkunjung ke bumi Antaludin Kandangan, maka mampirlah di makam Al
Allamah Syekh H. Sa’duddin (H.M Thayib) di desa Taniran Kecamatan Angkinang
yang jaraknya ± 8 km dari kota Kandangan. Beliau merupakan buyut dari pengarang
kitab Sabilal Muhtadin, Datu Kelampayan Syekh Maulana H.Muhammad Arsyad Al
Banjari. Nama sebenarnya Datu Taniran adalah H Sa’duddin. Beliau dilahirkan di
Dalam Pagar Martapura pada 1774, dan meninggal pada 1856 di Kampung Taniran
(masuk Kecamatan Angkinang). Taniran, tempat H Sa’duddin menyiarkan Agama Islam
selama hidupnya sekitar 45 tahun.
Papan nama makam keramat Datu Taniran yang ada di desa Taniran
Kecamatan Angkinang
Makam Keramat Datu Taniran terdapat di bangunan kecil berdekorasi kaligrafi
dan ukiran kayu gaya khas Banjar.
Makam Datu Taniran
Beliau termasuk salah seorang wali Allah SWT yang sepanjang hidupnya
digunakan untuk da’wah agama Islam guna menegakkan kalimat Tauhid agar manusia
selamat dunia dan akhirat. Untuk lebih jelasnya mengenai keadaan beliau dimasa
hidupnya dapat dipelajari melalui biografi atau manakib beliau.
Makam/kubah Datu Taniran ini merupakan makam yang paling sering dan banyak
dikunjungi orang, jika dibandingkan dengan makam/kubah lainya yang terdapat di
Kabupaten Hulu Sungai Selatan.