Rabu, 11 Mei 2016

Obyek Wisata Yang Ada Di Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan

Kabupaten Hulu Sungai Selatan dengan ibukota Kandangan memiliki cukup banyak lokasi yang dapat dijadikan sebagai obyek wisata, baik itu berupa Wisata Kuliner, Wisata Alam, Wisata Buatan, Wisata Religius, Wisata Sejarah/Wisata Budaya, dan Wisata Adat yang cukup potensial untuk dikembangkan.
WISATA KULINER
Ketupat Kandangan
Jika anda singgah di kota Kandangan Kab. Hulu Sungai Selatan (HSS), cobalah makanan khas Kota ini yaitu Ketupat yang dimakan dengan Gulai Ikan Haruan, biasa disebut Ketupat Kandangan, Di setiap warung makanan nyaris semuanya menyediakan menu yang namanya Ketupat Kandangan.
 
Ketupat Kandangan
Parincahan adalah satu daerah yang bisa dikatakan sentralnya ketupat kandangan yang terkenal sejak era 1980 an sampai sekarang. Di ruas Jalan A Yani, tepatnya mulai Simpang Lima sampai arah menuju luar kota menuju Kota Barabai, Hulu Sungai Tengah (HST) kita akan menemui deretan warung Ketupat.
Ketupat kandangan disediakan dengan gulai santan dan ikan haruan (gabus) yang dipanggang menggunakan arang kayu. Gulai ikan ini juga disajikan dengan cara khas daerah Kandangan. Ikan tidak langsung dicampur dengan kuah gulai, tetapi dibikin terpisah. Setelah dipanggang dalam tusukan sate, barulah haruan (gabus) ini dicelup dalam kuah gulai Lalu disajikan bersama potongan-potongan ketupat.
Ikan haruan atau gabus (Ophiocephalus striatus atau Channa striatus) adalah jenis ikan yang banyak hidup di rawa-rawa, bahkan di genangan-genangan air yang masam di Kalimantan Selatan. Dapat dikatakan ikan haruan adalah makanan rakyat Banjar yang umumnya disantap bersama ketupat kandangan. Inilah makanan yang menduduki nilai penting dalam hidangan makanan khas Kalsel. Bahkan untuk ikan haruan berapa pun harganya di pasaran akan dibeli warga demi melengkapi hidangan makanan khas, terutama untuk hidangan ketupat kandangan. 
Kayu Manis Loksado
Kecamatan Loksado adalah merupakan sentra kayu manis yang memiliki stok produksi kayu manis mencapai 50 ton/bulan.

Kapasitas yang besar ini sangat sayang bila tidak dikelola untuk dimanfaatkan sebagai peningkatan pendapatan masyarakat adat. Tanaman Kayu manis yang di budidayakan di kawasan ini adalah dari jenis Cinnamomun burmanni Blume. Kayu manis merupakan jenis tanaman rempah (spice) yang banyak digunakan sebagai penambah cita rasa masakan. Namun kayu manis juga dapat digunakan sebagai bahan pengawet. Karena daerah Loksado tepatnya di Malaris adalah merupakan sentra kayu manis, maka oleh penduduk setempat kayu manis tersebut dibuat minuman sirup tanpa mengandung bahan kimia dan alami, yang mana kita ketahui, tanaman kayu manis sangat berguna sekali bagi kesehatan.
WISATA ALAM
Loksado
Loksado berada 37.5 km dari kota Kandangan, ibukota kabupatan Hulu Sungai Selatan (HSS) atau 172.5 km dari Banjarmasin.
Di Loksado ini banyak sekali terdapat obyek wisata alam yang bisa anda kunjungi dan nikmati, misalnya seperti pemandangan alam, trekking, pemandian air panas, air terjun, bamboo rafting, dan budaya balai adat.
Untuk menuju ke kawasan ini, setelah anda memasuki desa hulu banyu dan melewati jembatan kayu, maka ada pertigaan yang mana belok sebelah kiri terdapat obyek wisata seperti pemandangan alam, pemandian air panas tanuhi dan air terjun kilat api, dan untuk sebelah kanan terdapat obyek wisata pemandangan alam, trekking, air terjun, bamboo rafting, dan budaya balai adat.

Loksado merupakan magnet yang menjadi primadona wisata alam (petualangan) paling laris dijual ke wisatawan mancanegara.
Objek wisata alam Loksado tak hanya menarik dari segi kesejukan alam, ada juga air terjun bertingkat dan pemandinan air panas di desa Tanuhi.
Pernak-pernik kekayaan budayanya menjadi sumber inspirasi bagi peneliti budaya dan tumbuh-tumbuhan. Ada 43 Balai (rumah adat) tersebar di 9 desa kecamatan Loksado. Yang paling besar adalah Balai Malaris, Balai Haratai, dan Balai Padang.
Satu hal yang paling berkesan di mata turis baik wisman maupun wisatawan domestik adalah setelah sekian jam trekking (jalan kaki melintas hutan) kemudian ditutup dengan wisata arung jeram menggunakan lanting (rakit bambu). Pengalaman berarung jeram dengan lanting (bamboo rafting) meninggalkan kesan khusus bagi para wisatawan yang terbiasa dengan kehidupan modern itu.
Arung jeram Loksado
Wisata arung jeram menggunakan lanting (rakit bambu)
Balai Adat Malaris adalah yang paling besar diantara balai yang lain dikawasan Loksado, dan berjarak 1 km dari Loksado. Tidak jauh dari Balai Malaris terdapat sebuah bendungan pembangkit tenaga listrik dan sebuah riam untuk bemandi ria, yaitu Riam Berajang dan Riam Hanai.
Kawasan Loksado memiliki hutan primer banyak ditumbuhi pepohonan dan kayu-kayuan yang beraneka ragam. Jenis pohon yang tumbuh diwilayah ini adalah seperti: Meranti, Sungkai, Ulin, Karet, Kayu Manis, dan jenis pohon buah-buahan serta aneka jenis bunga Anggrek. Didalam hutan juga hidup berbagai satwa, seperti: Kijang, Kancil, Macam, Beruang, aneka jenis kera termasuk Bekantan, Satwa Melata dan jenis burung, seperti: Raja Udang, Enggang, Ayam, Hutan dll. Begitu pula dengan Kupu-Kupu dengan aneka warna yang menawan.
Arung Jeram dengan rakit bambu di sungai Amandit adalah puncak dari kegiatan perjalanan setelah beberapa hari. Kegiatan inilah yang paling banyak disukai oleh banyak wisatawan dan yang palinng mengesankan. Ada beberapa lokasi yang bagus untuk memulai perjalanan dengan tingkat kesulitan dan waktu tempuh yang bervariasi tergantung dari keinginan wisatawan itu sendiri.

Air Terjun Haratai
Air terjun Haratai terletak di desa Haratai, 8 km dari Loksado, atau lebih kurang 15 menit perjalanan dengan jalan kaki dari Balai Haratai, dapat ditempuh dengan memasuki hutan bambu dan perkebunan karet atau kayu manis.
Pintu masuk menuju air terjun Haratai
Air terjun Haratai
Air terjun tersebut bertingkat tiga dengan ketinggian masing-masing 13 meter.
Panorama indahnya air terjun Haratai dilihat dari kejauhan
Pengunjung dapat bermandi ria pada telaga, tetapi dibagian bawah air terjunnya, atau hanya duduk-duduk diatas bebatuan besar. Tersedia juga tempat ganti pakaian dan shel teruntuk beristirahat.

Riam Berajang
Riam Berajang ini terletk di dekat balai adat Malaris Desa LokLahung kecamatan Loksado, merupakan riam yang sangat deras.
Air Terjun Hanai
Wisata air terjun Riam Hanai di kawasan balai adat Malaris Desa LokLahung kecamatan Loksado, merupakan air terjun yang sangat deras dengan ketinggian 4 meter. Untuk menuju ke lokasi obyek wisata Riam Hanai ini, setelah dari pertigaan desa Hulu Banyu belok kanan. Dari pertigaan tersebut, jarak yang ditempuh sekitar 7 km. Bagi anda yang menggunakan kendaraan roda 2 bisa langsung menuju riam melewati balai adat Malaris kemudian jalan kaki 100 meter menuju lokasi, namun bagi anda yang menggunakan kendaraan roda 4 terpaksa singgah di depan desa LokLahung dan jalan kaki 300 meter menuju lokasi. 




Pemandian Air Panas Tanuhi
Terletak di lembah pegunungan Loksado. Jaraknya sekitar 32.5 kilometer dari pusat Kota Kandangan. Di sisinya mengalir sungai jeram nan jernih dan dikelilingi tanaman yang menghijau.

Untuk menuju lokasi wisata pemandian air panas Tanuhi tersebut sangat mudah, karena dapat ditempuh melalui jalan darat. Anda bisa menggunakan mobil pribadi maupun angkutan pedesaan yang tersedia di Kota Kandangan.
Tepat di pertigaan Desa Hulu Banyu, belok kiri setelah melalui sebuah jembatan ulin. Dari pertigaan tersebut hanya sekitar 750 meter, letaknya tepat berada di lembah pegunungan Loksado.
Dari pintu masuk, ada jembatan beton penghubung dari jalan ke lokasi wisata. Dari atas jembatan terlihat jelas aliran sungai jeram yang masih alami dengan pesona kehidupan masyarakat yang masih alami.
Jalan masuk tanuhi
Kerap kali terlihat dari atas jembatan ini ada masyarakat membawa lanting paring (rakit bambu) yang akan dijual ke pasar lanting di Kandangan Hulu Kecamatan Kandangan Kota.
Ada 4 buah kolam pemandian yang terdapat di Tanuhi ini..
Kolam pertama lebih panjang
Kolam kedua merupakan kolam pemandian dengan air terpanas

Kolam keempat adalah kolam tersurut airnya, karena ini merupakan kolam yang diutamakan untuk anak-anak.
Selain tempat pemandian air panas, Di Tanuhi ini Anda juga bisa menginap untuk menikmati sejuknya udara di lembah alam Loksado ini pada waktu pagi hari. Di sini tersedia bangunan rumah mini yang disebut dengan dengan bangunan khas cottage. Ada 10 buah cottage yang tersedia untuk para pengunjung yang hendak menginap atau beristirahat.

Tempat peristirahatan yang biasa disebut cottage
Ada dua jenis cottage pilihan. Cottage tipe A kamarnya lebih luas dan ada fasilitas garasi mobilnya, sedang cottage tipe B letaknya agak ke dalam dan tidak ada garasinya. 
Air Terjun Kilat Api
Air Terjun Kilat Api
Air Terjun Kilat Api terletak di desa Tanuhi, 1 km dari pemandian air panas Tanuhi. Bisa ditempuh dengan kendaraan roda 2 atau roda 4. 
Telaga Bidadari
Obyek wisata ini terletak di desa Telaga Bidadari Kecamatan Sungai Raya dengan jarak kurang lebih 8 Km dari kota Kandangan yang dapat ditelusuri dengan roda dua atau roda empat.

Telaga Bidadari
Apabila kita jalan-jalan ke desa Telaga Bidadari kita akan menemukan sumur tua yang airnya bersih dan tidak akan kering walapun kemarau panjang, yang disebut orang Telaga Bidadari. Telaga ini berukuran 3 x 2 meter dengan kedalaman 2 meter, terletak di kawasan tanah pematang yang diteduhi pepohonan, khususnya pohon "limau" (jeruk)..
 
Telaga Bidadari di lihat dari dekat
Berdasar cerita, penduduk Telaga Bidadari merupakan keturunan bidadari, hasil pernikahan Datu Suling dengan bidadari yang menjadi cikal bakal penduduk desa itu. Telaga atau sumur itu, merupakan tempat mandi para bidadari.
Mitos lainnya, banyak orang datang ke Telaga Bidadari karena ingin enteng jodoh. Dipercaya turun temurun, siapa yang mandi di telaga tersebut, laki-laki atau perempuan, akan cepat mendapat jodoh.
Selain sentra pengrajin dodol, desa telaga bidadari juga penduduknya terutama yang perempuan terkenal "bungas-bungas" (cantik-cantik) dan berkulit putih, sehingga tidak mengherankan banyak orang luar dari desa-desa tetangga mengambil menantu dari desa Telaga Bidadari.
Sampai sekarang, Telaga Bidadari banyak dikunjungi orang. Selain itu, tidak ada penduduk yang memelihara ayam hitam, konon sesuai sumpah Awang Sukma yang bergelar Datu Pulut dan Datu Suling.
Disepanjang jalan menuju Telaga Bidadari terdapat berbagai macam home industri yang memproduksi kue kering, dodol, kuaci bigi waluh dan ketupat kandangan.
Cerita tentang Telaga Bidadari yang lebih terurai dapat dibaca pada Legenda Telaga Bidadari
Gunung Batu Bini
Selain kawasan Loksado. Antara goa dan banyu panas bisa dibuat lintasan untuk pejalan kaki menikmati kaki Gunung Batu Bini. Di situ ada Telaga Maulak yang eksotis, sejuk dan pemandangan kaki bukit yang indah. Ada kekhasan aroma pegunungan yang bercampur aroma batu gunung. Bagi orang yang haus ketenangan, tempat itu akan menjadi daya tarik tersendiri.
Tidak jauh dari Banyu Panas ada sebuah gua yang disebut Gua Batapaan. Gua ini terletak di bagian yang sangat curam dari Gunung Batu Bini. Letaknya tidak bisa terlihat oleh orang yang memanjat tebing mendekati gua, sehingga harus diarahkan oleh orang yang berada di bawah. Menurut cerita, di situ ada harta peninggalan masa lalu. Ada beberapa orang yang mencoba memasukinya tetapi selalu gagal. Begitu didekati gua itu menutup.

Gunung Batu Laki
Gunung Batu Laki terletak Desa Malutu, Kecamatan Padang Batung, 14 Km dari kota Kandangan Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Di kawasan Pegunungan Meratus, Gunung Batu Laki merupakan salah satu tempat wisata alam andalan Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Dari puncak gunung inilah keindahan alam di sekitarnya bisa dinikmati saat matahari terbenam atau terbit. Wisatawan atau pengunjung biasa yang datang ke gunung karst ini barangkali hanya melihat onggokan batu kapur raksasa. Di bawahnya, mereka bisa berkemah, membuat api unggun, dan makan bersama sambil menikmati riak air Sungai Amandit yang bening. Kalau beruntung, mereka akan menyaksikan para pembawa lanting paring (rakit bambu) untuk dijual ke Kandangan. Tawaran wisata petualangan lainnya adalah melakukan perjalanan mengunjungi kampung-kampung Dayak Meratus di Kecamatan Loksado. Para wisatawan biasanya mengakhiri petualangan di daerah ini dengan menguji keberanian dan menikmati sensasi petualangan dengan bamboo rafting untuk menaklukkan jeram Sungai Amandit.
Asal Usul Gunung Batu Bini dan Gunung Batu Laki
Pegunungan Meratus merupakan kawasan hutan alami yang terletak di Propinsi Kalimantan Selatan. Pegunungan ini membentang dari arah Selatan di Kabupaten Tanah Laut hingga ke Utara dekat perbatasan Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah, luasnya diperkirakan lebih dari satu juta hektar. Di sebelah Barat Pegunungan Meratus tersebut terdapat dua buah gunung yang dikenal dengan Gunung Batu Bini dan Gunung Batu Laki. Menurut cerita masyarakat di sekitarnya, keberadaan kedua gunung tersebut dikaitkan dengan sebuah peristiwa yang pernah terjadi di daerah itu. Konon, kedua gunung tersebut berasal dari dua penggalan perahu layar milik seorang anak durhaka yang bernama si Angui. Karena sumpah sakti seorang ibu menjadikan si Angui, istri, beserta seluruh harta kekayaannya, berubah menjadi batu. Kemudian kedua batu tersebut berubah menjadi dua buah gunung yang mirip dengan bentuk sebuah perahu yang terpotong dua. Peristiwa itu dikemas dalam sebuah cerita rakyat yang dikenal dengan cerita Batu Bini Batu Laki. Bagaimana si Angui bisa durhaka terhadap ibunya, sehingga ia disumpah menjadi batu? Ingin tahu jawabannya? Ikuti kisahnya dalam cerita berikut ini.
Alkisah pada zaman dahulu kala, daerah yang terletak di sebelah Barat lereng Pegunungan Meratus pernah digengangi air yang dalam. Hanya ada satu daratan yang tidak digenangi air. Daratan itu dihuni oleh sekelompok masyarakat. Di salah satu rumah penduduk, tinggallah seorang janda tua bernama Diang Ingsun dengan anak laki-lakinya bernama si Angui. Keluarga kecil ini hidup dari hasil hutan dan dan sungai. Setiap hari Diang Ingsun mencari ikan di sungai dibantu oleh anak tunggalnya, si Angui. Mereka juga mengumpulkan umbi-umbian untuk dimakan. Jika ada sisa, mereka menjualnya kepada penduduk yang membutuhkan untuk ditukar dengan beras.
Si Angui masih tergolong anak-anak. Ia selalu duduk di dalam jukung menyertai ke mana saja ibunya pergi. Si Angui dan ibunya menjalani hidupnya penuh keprihatinan. Waktu terus berjalan, tak terasa si Angui tumbuh menjadi dewasa. Ibunya pun semakin tua. Mereka masih tekun bekerja. Kini, si Angui tidak hanya membantu ibunya menangkap ikan. Ia juga setiap hari ke hutan mengumpulkan rotan untuk dijual ke pedagang yang datang ke kampungnya. Sebelum rotan itu dijual, terlebih dahulu ia bersihkan lalu diikatnya dengan rapi. Apa pun yang ia kerjakan, ia selalu teringat dengan pesan ibunya sejak ia masih kecil: jika mengerjakan sesuatu hendaklah selalu bersih dan rapi.
Suatu hari, merapatlah sebuah jung yang besar di pelabuhan kampung Angui. Jung itu membawa berbagai barang dagangan untuk ditukar dengan bilah-bilah rotan, damar, dan lilin yang dihasilkan oleh penduduk di daerah itu. Si Angui turut pula menyerahkan sejumlah rotan miliknya untuk ditukarkan dengan garam, beras dan gula merah. Tanpa disadari, ternyata salah seorang awak jung yang berpenampilan rapi memerhatikannya dari kejauhan. Dia adalah pemilik jung itu. Tak lama, dia pun memerintahkan anak buahnya agar si Angui datang menghadap kepadanya. Anak buah itu pun menghampiri Angui. “Permisi anak muda! Saya diperintahkan oleh juragan saya memanggil kamu untuk menghadap kepadanya,” sapa anak buah itu sambil menunjuk ke arah juragannya. Angui pun menoleh ke arah pemilik jung. Ketika mata Angui tertuju kepadanya, pemilik jung pun tersenyum dan mengangguk-angguk, sebagai tanda bahwa ia benar-benar memanggil si Angui. Setelah merasa yakin, Angui pun segera menghadap kepada pemilik jung itu. “Hai anak muda! Siapa namamu?” tanya si pemilik perahu. “Penduduk kampung di sini memanggilku Angui, Tuan!” jawab Angui malu-malu. “Begini Angui. Aku sangat tertarik dengan bilah-bilah rotanmu. Batangnya cukup tua dan kering. Ikatannya pun bersih dan rapi,” ujar si pemilik jung memuji rotan si Angui. Angui hanya tersenyum dan bersikap hormat, lalu berkata, “Walaupun ibu saya tidak berpengetahuan luas, ia selalu mengingatkan agar saya berbuat dan bekerja dengan bersih dan rapi.”
Mendengar keterangan Angui, si pemilik jung merasa bahwa Angui adalah anak yang cekatan dan terampil bekerja. Tanpa pikir panjang, ia pun berniat mengajaknya untuk berlayar. “Hai, Angui! Jika kamu tidak keberatan, maukah kamu ikut berlayar bersamaku?” tanya si pemilik perahu. Si Angui sangat senang mendengar ajakan itu. “Wah...saya senang sekali, Tuan! Tapi, sebelumnya saya harus meminta persetujuan ibu saya terlebih dahulu,” jawab Angui menanggapi ajakan itu. “Baiklah, Angui. Besok pagi saya tunggu kamu di jung ini, kita pergi berlayar bersama-sama,” ucap si pemilik kapal. Setelah itu, si Angui segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan berita tersebut kepada ibunya.
Sesampainya di rumah, Angui pun langsung menceritakannya kepada ibunya. “Ibu, tadi saya bertemu dengan si pemilik jung dagang di pelabuhan. Ia mengajakku pergi berlayar bersamanya. Bagaimana menurut ibu?” tanya Angui dengan hati-hati. “Ibu ingin melihat kamu berhasil, Nak! Ibu tidak keberatan jika kamu turut berlayar,” ibunya memberi izin dengan tulus. “Tapi, jika kamu sudah berhasil, cepatlah pulang! Ibu hanya tinggal sendirian. Ibu tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu, Anakku. Cepatlah kembali!” pinta ibunya. Mendengar jawaban ibunya, Angui gembira bukan kepalang. “Terima kasih, Bu. Saya akan selalu mengingat pesan ibu. Doakan saya berhasil ya, Bu!” seru Angui sambil memeluk ibunya. “Besok pagi-pagi sekali, persiapkan segala keperluanmu, Nak! seru ibunya. Si Angui mengangguk-angguk dengan senang. Namun, tiba-tiba ia ingat sesuatu, ayam jago yang telah dipeliharanya sejak kecil. “Ibu, tolong jaga dan rawat baik-baik ayam jagoku, ya! Biarlah ayam itu tidak saya bawa agar Ibu selalu ingat kepada saya,” pinta Angui kepada ibunya. “Tentu, Anakku. Saya akan merawatnya dengan baik sampai kamu kembali,” jawab Ibu Angui.
Keesokan harinya, Angui pun berangkat ke pelabuhan diantar ibunya. “Ibu, Angui berangkat dulu. Jaga kesehatan ya, bu! Angui segera kembali jika sudah berhasil,” ujar Angui memberi harapan seraya mencium tangan ibunya. “Ya, naiklah segera ke jung. Sebentar lagi jungnya berangkat. Hati-hati ya, Nak! Jangan lupa pesan Ibu. Cepatlah kembali!” seru Ibu Angui sambil melambaikan tangan. Tak berapa lama, berangkatlah jung dagang itu bersama Angui. Jung itu pun semakin jauh mengarungi air sungai yang dalam itu. Dari kejauhan tampak seorang perempuan tua di pelabuhan yang sedang melambaikan tangan tak henti-hentinya. Di atas jung, Angui pun membalas lambaian itu. Angui mengetahui bahwa perempuan tua itu adalah ibu kandungnya yang sangat dicintainya. Sejak di atas jung hingga menjauh dari pelabuhan, pandangan Angui tidak pernah lepas tertuju kepada ibunya. Ia merasa berat berpisah dengan ibunya. “Maafkan Angui, Ibu. Angui meninggalkan Ibu seorang diri. Tapi, ini demi kebaikan kita,” ucap Angui meneteskan air mata.
Sudah bertahun-tahun si Angui ikut bekerja pada si pemilik perahu. Angui senantiasa mengingat pesan ibunya. Setiap pekerjaan yang diberikan kepada bosnya, diselesaikannya dengan rapi dan bersih. Karena kecekatan dan ketelatenannya dalam bekerja, si Angui pun dinikahkan dengan anak si pemilik perahu yang sudah tua itu. Tak lama sesudah menikah, si pemilik perahu pun meninggal dunia. Seluruh harta kekayaannya diwarisi oleh si Angui bersama istrinya. Maka, terkenallah si Angui dan istrinya sebagai saudagar yang kaya-raya. Karena merasa sudah berhasil, Angui pun teringat dengan pesan ibunya. Ia pun berniat untuk menjenguk ibunya yang tinggal jauh di kampung. Niat baik tersebut disambut baik oleh istrinya dengan penuh harapan. “Kaka, jadikan pelayaran ini sebagai kunjungan pertama ke rumah mertuaku,” ujar istrinya. “Baiklah, Adingku. Perintahkan anak buah jung menyiapkan jung yang paling besar dan barang-barang yang akan kita bawa,” jawab si Angui setuju. Setelah itu, diperintahkannya seluruh anak buahnya untuk menyiapkan seluruh keperluan selama pelayaran. Tak lupa pula mereka membawa berbagai macam barang mewah untuk dihadiahkan kepada ibu Angui. Setelah semuanya siap, jung Angui pun berangkat.
Beberapa hari kemudian, berlabuhlah jung yang megah itu di pelabuhan kampung Angui. Orang-orang terkagum-kagum melihat kemegahan kapal itu. Banyak orang yang bertanya-tanya, siapa gerangan pemilik kapal itu dan apa keperluan mereka datang ke tempat itu. Rasa penasaran mereka hilang, ketika Angui dan istrinya keluar dan berdiri di anjungan. Beberapa orang yang hadir di pelabuhan itu mengenal ciri-ciri sosok si Angui. “Hei, lihat laki-laki yang berdiri di anjungan bersama seorang wanita. Sepertinya dia itu si Angui. Coba perhatikan! Tahi lalat di atas pelupuk mata kanannya, itu kan ciri khas si Angui,” seru seorang yang sudah agak berumur. Semua yang hadir mengalihkan perhatiannya kepada laki-laki itu. “Ya, benar. Dia adalah si Angui, anak Diang Ingsun. Aku akan segera memberi tahu ibunya,” ujar penduduk lainnya. Belum beranjak dari tempatnya, tiba-tiba sejumlah anak-anak menghambur berlarian menuju rumah nenek tua itu, ibu si Angui, untuk menyampaikan berita itu. “Nek...Angui pulang...! Angui pulang...!Anguiiii Pulaaang...! teriak anak-anak tersebut di luar gubuk ibu Angui.
Mendengar teriakan itu, Diang Ingsun segera keluar dari gubuknya. Ia seakan tidak percaya dengan berita yang ada. Ia kemudian mendekati anak-anak itu. “Wahai, cucu-cucuku! Jangan membuat nenek kaget! Apa benar yang kalian katakan itu?” tanyanya terpatah-patah. “Benar, Neeek...,” sahut anak-anak serempak. “Jung Angui ada di pelabuhan!” tambah mereka. “Baiklah! Nenek segera ke sana,” ujar Diang Ingsun. Setelah anak-anak tersebut kembali ke pelabuhan, nenek itu pun masuk ke gubuknya. “Penampilanku sudah setua ini barangkali si Angui sudah tidak bisa mengenalku lagi. Aku juga sudah tidak kuat berjalan ke pelabuhan. Biarlah aku menaiki jukung rumpung ini. Aku akan berkayuh sekuatku. Mungkin ia memang tidak mengenaliku, tapi jukung ini akan mengingatkannya kepada masa kanak-kanaknya. Dulu, ia sering tiduran di jukung ini ketika aku sedang menangkap ikan,” gumam Diang Ingsun. Ia juga tidak lupa membawa ayam jago milik si Angui. “Ayam jago yang berumur panjang ini barangkali akan mengingatkan si Angui kepada pesannya beberapa tahun lalu. Sebelum berangkat berlayar, ia berpesan kepadaku untuk selalu merawat ayam ini hingga ia kembali,” Diang Ingsan kembali bergumam.
Berangkatlah nenek itu ke pelabuhan dengan jukung rumpungnya. Seekor ayam jantan bertengger di bagian depan jukungnya. Sesampainya di pelabuhan, terdengarlah suara teriakan dari para pengunjung yang ada di pelabuhan, “Diang Ingsun datang...Diang Ingsun datang...! Mendengar suara ribut-ribut di pelabuhan, si Angui dan istrinya melongok ke bawah. Mereka melihat sebuah jukung rumpung berhadapan dengan anjungan jungnya. “Siapa orang tua bersampan itu, Kaka?” tanya istri Angui. “Entahlah, Adingku,” jawab si Angui singkat.
“Angui..., Anakku! Ini ibumu, Nak...!” teriak Diang Ingsun dari dalam jukungnya. “Kaka, benarkah yang dikatakan perempuan tua itu?” tanya istrinya. “Bukan. Perempuan tua itu bukan ibuku,” bantah Angui kepada istrinya. “Ibuku tidak semiskin dan serenta itu!” tambah Angui. “Angui, ini ibu, Nak...!” nenek renta itu berseru. Dari atas jungnya yang megah, si Angui berucap, “Hai, perempuan tua, jangan mengaku-aku! Ibuku tidak seburuk kamu penampilannya!”
“Angui, Anakku! Engkau boleh tidak mengenali ibumu ini. Ayam jago kesayanganmu sengaja Ibu bawa untuk mengingatkanmu, Nak! seru ibunya mengiba. “Tidak mungkin ayam jagoku berusia setua itu. Jangan mengada-ada, wahai perempuan tua pendusta!” bentak si Angui. Si Angui mulai berkeringat dingin. Ia sangat malu kalau rahasianya terbongkar di hadapan istrinya. “Jukung ini adalah alat yang dulu kita gunakan untuk mencari ikan. Apakah kamu lupa, Anakku?” tanya ibunya lebih nyaring. Pertanyaan itu membuat si Angui semakin geram. “Persetan dengan jukung rumpung itu!” balas si Angui. Kemudian, ia memerintahkan seluruh anak buahnya untuk meninggalkan pelabuhan. “Angkat jangkar dan lepaskan semua tali. Kita pergi dari sini. Aku muak melihat perempuan miskin itu!” seru si Angui. Istrinya yang baik hati merasa iba terhadap nenek itu. “Kakaaa...kalau memang perempuan tua itu ibu kandungmu, tidak mengapa. Ading akan menerimanya dengan senang hati. Kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, karena Kaka masih dipertemukan dengan ibu yang pernah mengandung, melahirkan, dan membesarkanmu. Turunlah Kaka, rangkullah dia...! pinta istrinya mengiba kepada si Angui. Mendengar permintaan istrinya, si Angui tetap saja berkeras hati tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri. “Sudah kukatakan, aku tidak memiliki orang tua seburuk itu. Tua renta itu hanya mengada-ada! bantah si Angui.
Tak lama kemudian, jung pun bergerak perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan. Si Angui menarik paksa tangan istrinya agar masuk ke dalam kamar. Hatinya sakit, karena rasa malu yang sangat. Akal sehatnya benar-benar sudah tertutup hingga ia tega mengingkari kenyataan bahwa perempuan tua itu adalah ibu kandungnya sendiri. Demikian pula perempuan tua yang malang itu. Hatinya hancur berkeping-keping dibentak dan dicaci-maki, bahkan diingkari sebagai ibu oleh anak kandungnya sendiri. Karena itu, ia menjadi putus asa. Sambil menangis, ia berdoa, “Wahai, Tuhan Yang Mahakuasa. Jika si pemilik perahu itu memang si Angui, anak kandung yang pernah kukandung sembilan bulan sepuluh hari di dalam rahimku, celakakanlah dia karena telah berani menghina ibu kandungnya ini! Dengan kekuasaan-Mu, biar jasad dan semua kekayaannya menjadi batu! Dia anak durhaka...!” kutuk Diang Ingsun.
Baru saja doa itu diucapkan, tiba-tiba hujan turun dengan deras, disertai angin kencang. Suara guntur bergemuruh, menggelegar bersahut-sahutan. Air laut pun bergejolak dengan dahsyatnya. Jung yang ditumpangi si Angui dan seluruh isinya, terombang-ambing oleh gelombang air laut itu. Hempasan gelombang yang dahsyat itu membelah jung itu menjadi dua bagian. Satu bagian berisi istri si Angui beserta dayangnya, satu bagian lagi dihuni oleh si Angui beserta anak buah jung dan segala harta kekayaannya. Dari dalam jung terdengar suara teriakan si Angui memanggil-mangggil ibunya dan meminta maaf. “Ibu..., Ibu..., maafkan aku, Bu! Aku memang anakmu! Aku tidak akan mengulangi lagi!” Istri Angui pun turut berteriak meminta maaf. Namun, teriakan mereka tidak dihiraukan oleh Diang Ingsun. Ia terus mengayuh jukungnya menjauhi pelabuhan.
Si Angui sangat menyesali perbuatannya. Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Bencana pun tak terelakkan. Kapal yang besar dan megah itu tenggelam ke dasar laut. Ketika air laut yang sempat menggenangi daratan rendah pelabuhan di kampung si Angui berubah surut dan menjadi daratan, menyembullah potongan-potongan kapal yang sudah berwujud batu. Potongan kapal yang berisi istri Angui berubah menjadi gunung batu yang kemudian disebut Gunung Batu Bini, sedangkan potongan kapal yang berisi Angui setelah menjadi batu disebut Gunung Batu Laki. Tiang layarnya mencuat dan kemudian tumbuh menjadi pohon yang tinggi di puncak Gunung Batu Laki. Sementara Diang Ingsun menjelma menjadi menjadi burung elang mangkung berwarna hitam. Penduduk setempat sering melihat burung itu hinggap di Gunung Batu Laki. Bila hari panas, burung elang itu selalu berkulik-kulik, “Bulik...! bulik...! buliiiik...!”

Goa Berangin Malutu
Goa Berangin terletak di desa Malutu Kecamatan Padang Batung. Wisatawan dapat menggunakan mobil atau motor ke lokasi ini dan ditempuh kurang lebih 45 menit dari Kandangan. Jalannya cukup menantang, kadang kala mendaki dan menurun yang cukup tajam. Di dalam goa terdapat air dan dapat dijelajahi dengan jalan kaki atau menggunakan perahu atau jukung tradisional. Ketika kita berada di muara dan di dalam goa tersebut, maka kita akan merasakan bertapa sejuk dan nyamannya angin yang bertiup. Didalamnya terdapat ornamen-ornamen goa yang eksotik. Dari atas puncak gunung dapat menyaksikan sunset maupun sunrise.

Gunung Kentawan
Gunung Kentawan lebih dikenal sebagai lambang sari kawasan Loksado karena letaknya strategis dan dapat dilihat dari berbagai penjuru. Gunung ini adalah kawasan hutan lindung berupa gunung batu yang ditumbuhi pepohonan disekelilingnya, letak kawasan ini sekitar 28 Km dari kota Kandangan, dan untuk mencapainya hanya jalan kaki lewat Desa Lumpangi, muara Hanip atau Datar Belimbing (Hulu Banyu). Dengan memiliki luas sekitar 245 ha, didalamnya terdapat aneka jenis flora termasuk anggrek Hutan dan fauna yang dilindungi seperti Bekantan, Owa-Owa, Raja Udang (Halcyon SP) dll.

WISATA SEJARAH / WISATA BUDAYA
Balai Adat Malaris
Balai Adat Malaris Desa LokLahung Kecamatan Loksado merupakan balai terbesar di wilayah Pegunungan Meratus dengan ukuran 45 x 45 meter. Balai yang dibangun pada tahun 2007 ini, merupakan balai terbesar yang dimiliki oleh masyarakat Dayak Loksado. Di balai inilah, setiap tahun ritual aruh penutup atau yang biasa disebut dengan aruh ganal dilaksanakan dengan hikmat dan penuh dengan berbagai sesajen. Berjarak 1 km dari Loksado, balai ini dulunya dihuni berpuluh-puluh keluarga besar, namun mungkin karena perkembangan jaman dan majunya perekonomian mereka, keluarga-keluarga tersebut telah pindah dan masing-masing mendirikan rumah yang tidak jauh dari balai. Sekarang balai adat malaris ini hanya digunakan untuk pertemuan-pertemuan dan acara ritual.
Balai Adat Haruyan
Balai Adat Haruyan merupakan salah satu balai adat besar yang ada di Kecamatan Loksado. Balai Adat Haruyan ini terletak di desa Tumiking/Kamawakan, 4 km dari Loksado.
Balai adat ini dulunya dihuni sekitar 12 kepala keluarga, namun karena perkembangan jaman dan majunya perekonomian rakyat di desa Haruyan ini, maka sebagian besar kepala keluarga ini sudah pindah tempat dan masing-masing mendirikan rumah di sekitar balai. Kehidupan atau mata pencaharian masyarakat di desa Haruyan ini selain bercocok tanam, mereka juga berkebun, menyadap karet, rotan, kayu manis, dll.


warga suku dayak haruyan loksado

Nagara
Nagara terletak di Kecamatan Daha Selatan, 30 km dari kota Kandangan. Nagara merupakan kota kecil yang ditempati Sungai Nagara (cabang Sungai Barito) dan sering meluap. Karena itu, rumah penduduk di tenpat ini umumnya adalah rumah yang dibangun di atas tiang-tiang tinggi. Pada saat musim hujan, hampir seluruh bagian kota tertutup air kecuali jalan yang sengaja dibuat tinggi, namun pada puncak musim hujan, permukaan jalan juga tertutup air sehingga Nagara berubah menjadi semacam “Kota Air”.
Menurut catatan sejarah, Nagara yang terletak tidak jauh dari kota Kandangan, merupakan ibukota dari kerajaan pertama di Kalimantan Selatan bernama Nagara Dipa sebelum dipindahkan oleh Pangeran Samudera ke Bandarmasih yang kemudian berkembang menjadi Kota Banjarmasin saat ini. Nagara juga menjadi pusat kerajinan senjata tajam seperti pedang, golok dan keris. Para pengrajin ditempat ini mampu menghasilkan berbagai jenis senjata tajam seperti Mandau dengan bentuk yang indah dilengkapi dengan sarungnya.
Mandau adalah pedang tradisional suku Dayak yang dibuat di Desa Hadirau dan Tumbukan Banyu. Pembuatannya memnggunakan peralatan sederhana dan diselesaikan sekelompok pengrajin dan Mandau hanya di buat untuk hiasan. Tapi adapula Mandau yang khas dibuat sendiri oleh ahlinya dan pedang ini dipercayai memiliki kekuatan magis yang diisi melalui upacara ritual.
pembuatan senjata tajam di desa tumbukan banyu
Pembuatan gerabah terletak di Desa Bayanan tidak jauh dari Pasar Nagara, pengunjung bisa menyaksikan setiap tahapan pembuatan dengan peralatan sederhana atau bahkan pengunjung bisa memcoba ikut untuk pembuatannya. Pengrajin biasanya membuat bermacam-macam bentuk Tembikar dan yang terkenal adalah Dapur Nagara atau Anglo.

Situs amuk Hantarukung (Makam Tumpang Talu)
Makam Tumpang Talu terletak di Parincahan, Kelurahan Kandangan Barat.
tumpang-talu
Amuk Hantarukung salah satu momen sejarah yang mengingatkan warga Kalsel terutama Hulu Sungai Selatan Kandangan, tentang kegigihan perjuangan rakyat setempat yang dimotori Bukhari dan kawan-kawan melawan penjajah Belanda.
Semangat Amuk Hantarukung dalas batapung tali salawar dalas balangsar dada tak mau dijajah ini.
makam tumpang talu
Situs amuk Hantarukung (Makam Tumpang Talu)
SEJARAH AMUK HANTARUKUNG
Bukhari dari Hantarukung (lahir : 1850 di Hantarukung, Simpur, Hulu Sungai Selatan, wafat : 19 September 1899 di Hantarukung, Simpur, Hulu Sungai Selatan). Bukhari adalah salah seorang pejuang Perang Banjar yang memimpin perlawanan rakyat yang disebut Amuk Hantarukung yang terjadi di masa Sultan Muhammad Seman bin Pangeran Antasari. Ayah Bukhari bernama Manggir dan ibu bernama Bariah kelahiran desa Hantarukung, dalam wilayah Kecamatan Simpur, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Bukhari dilahirkan sekitar tahun 1850 dan semasa mudanya mengembara ke Puruk Cahu (Murung Raya, Kalimantan Tengah) mengikuti pamannya Kasim yang menjadi panakawan (asisten) dari Sultan Muhammad Seman. Sejak itu Sultan Muhammad Seman menjadikan Bukhari sebagai panakawan (asisten) Sultan, dan Bukhari ikut berjuang di daerah Puruk Cahu, Kalimantan Tengah.
Bukhari seorang yang setia mengabdikan dirinya. Ia orang yang dipercaya sebagai Pemayung Sultan. Ia dikenal di kalangan istana sebagai seorang yang mempunyai ilmu kesaktian dan kekebalan. Bahkan tersiar berita bahwa dengan ilmunya itu kalau ia tewas dapat hidup kembali. Ilmu ini diajarkan kepada siapa yang menjadi pendukungnya. Adanya kelebihan-kelebihan Bukhari tersebut, menyebabkan dia dan adiknya bernama Santar mendapat tugas untuk menyusun dan memperkuat barisan perlawanan rakyat terhadap Belanda di daerah Banua Lima, Kalimantan Selatan.
Menyusun Kekuatan Rakyat.
Dengan membawa surat resmi dari Sultan Muhammad Seman, Bukhari dan adiknya Santar datang ke desa Hantarukung untuk menyusun suatu pemberontakan rakyat terhadap pemerintah Belanda. Kedatangan Bukhari diterima hangat oleh penduduk desa Hantarukung. Dengan bantuan Pangerak Yuya, Bukhari berhasil mengorganisir kekuatan rakyat untuk melawan Belanda. Sebanyak 25 orang penduduk telah menyatakan diri sebagai pengikutnya, dan di bawah pimpinan Bukhari dan Santar siap untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Gerakan Bukhari ini bahkan kemudian mendapat dukungan selain penduduk Hantarukung, juga penduduk kampung Hamparaya dan Ulin. Sehubungan dengan itu alasan perlawanan yang dikemukakan bahwa penduduk dari tiga kampung itu tidak bersedia lagi melakukan kerja rodi . Sikap penduduk dan tindakan Pangerak Yuya yang tidak mau menurunkan kuli (penduduk) untuk menggali garis antara Amandit-Negara tersebut, kemudian dilaporkan oleh Pambakal Imat kepada Kiai (gelar kepala distrik), karena yang bersangkutan sedang tidak ada di tempat, Pambakal melaporkan kepada Controleur Belanda di kota Kandangan.
Perlawanan Rakyat 18 September 1899
Penguasa Belanda di Kandangan sangat marah mendengar berita itu pada tanggal 18 September 1899 berangkatlah rombongan penguasa Belanda yang terdiri dari Controleur Adsenarpont Domes dan Adspirant K. Wehonleschen beserta 5 orang Indonesia (opas dan pambakal) yang setia kepada Belanda. Dengan menaiki kereta kuda dan diikuti yang lainnya Controleur Adsenerpont Domes ke desa Hantarukung menemui Pangerak Yuya. Pangerak yang telah bekerja sama dengan Bukhari untuk melawan pemerintah Belanda ini ketika dipanggil oleh Controleur keluar dari rumahnya dengan tombak dan parang tanpa sarung. Setelah terjadi tanya jawab mengenai mengapa penduduk tidak mengerjakan lagi gerakan menggali garis Amandit-Negara, tiba-tiba muncul ratusan penduduk di bawah pimpinan Bukhari dan Santar sambil mengucapkan shalawat nabi maju ke arah Controleur dengan senjata tombak, serapang (trisula) dan lain-lainnya.
Dalam peristiwa itu telah terbunuh tuan Controleur Domes dan Adspirant Wehonleshen serta seorang anak emasnya. Sementara 4 orang lainnya dapat melarikan diri. Mereka itu antara lain opas Dalau dan Kiai Negara (kepala Distrik Negara). Peristiwa tanggal 18 September 1899 ini terkenal dengan Pemberontakan Amuk Hantarukung yang dipelopori oleh Bukhari, seorang yang secara resmi diperintahkan oleh Sultan Muhammad Seman dengan mengirimkan ke desa asal kelahirannya Hantarukung.
Perlawanan Rakyat 19 September 1899.
Peristiwa 18 September 1899 dengan terbunuhnya Controleur dan Adspirant Belanda segera sampai kepada pejabat-pejabat Belanda di kota Kandangan. Kemarahan pihak Belanda tidak dapat terbendung lagi. Besok harinya pada hari Senin tanggal 19 September 1899 sekitar pukul 13.00 siang hari pasukan Belanda datang untuk mengadakan pembalasan terhadap penduduk. Serangan pembalasan tersebut dipimpin oleh Kiai Jamjam putera daerah sendiri, dengan diperkuat oleh 2 Kompi serdadu Belanda bersenjata lengkap. Penduduk desa Hantarukung telah menyadari pula peristiwa yang akan terjadi. Beratus-ratus penduduk di bawah pimpinan Bukhari, Santar dan Pengerak Yuya siap dengan senjata mereka di pinggiran hutan dan keliling danau menanti kedatangan pasukan Belanda. Ketika sampai di desa Hantarukung di suatu awang persawahan, melihat keadaan sepi, Kapten Belanda melepaskan tembakan peringatan agar penduduk menyerah. Pada waktu itulah Bukhari bersama-sama Haji Matamin dan Landuk tampil dengan senjata terhunus maju menyerbu musuh sambil mengucapkan Allahu Akbar berulang-ulang. Tindakan Bukhari tersebut diikuti para pengikutnya yang sudah siap untuk berperang, pertempuran sengit terjadi. Bukhari, Haji Matamin dan Landuk dan Pengerak Yuya gugur di tembus peluru Belanda. Melihat pemimpin-pemimpin mereka terbunuh penduduk lari menyelamatkan diri. Dalam peristiwa 2 hari di Hantarukung tersebut telah terbunuh masing-masing di pihak Belanda adalah Controleur Domes, Adspirant Wehonleschen dan seorang pembantunya. Sementara dari pihak penduduk telah gugur : Bukhari, Haji Matamin, Landuk, Pangerak Yuya.
Penangkapan Penduduk oleh Belanda
Peristiwa ini berlanjut dengan terjadinya pembersihan secara kejam oleh Belanda terhadap penduduk yang terlibat terutama penduduk di desa Hantarukung, Hamparaya, Ulin, Wasah Hilir dan Simpur. Penangkapan segera dijalankan oleh militer Belanda. Mereka yang ditangkapi tersebut berjumlah 23 orang yakni : Hala, Hair, Bain, Idir, Sahintul, H. Sanadin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang, Tasin, Bulat, Sudin, Matasin, Yasin, Usin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan dan Atmin. Selanjutnya yang mati di dalam penjara adalah : Hala, Hair, Bain, dan Idir. Sedangkan yang mati digantung adalah : Sahitul, H. Sanaddin, Fakih, Unin, Mayasin, Atma, Alas, Tanang dan Tasin. Mereka yang dibuang keluar daerah adalah: Bulat, Suddin, Matasin, Yasin, Sahinin, Unan, Saal, Lasan, Atnin, dan Santar. Jenazah Bukhari, Landuk dan Matamin dimakamkan di Kampung Perincahan, Kecamatan Kandangan, Hulu Sungai Selatan yang dikenal dengan makam Tumpang Talu. Sedangkan sembilan orang dihukum gantung oleh Belanda tersebut dimakamkan di kuburan Bawah Tandui di Kampung Hantarukung di Kecamatan Simpur, Hulu Sungai Selatan.
Rumah bersejarah Durian Rabung
Rumah bersejarah ini terletak di desa Durian Rabung Kecamatan Padang Batung, berjarak sekitar 8 Km dari kota Kandangan. Rumah ini milik H.Abdul Kadir (Kai Jabus) yang digunakan sebagai tempat Rapat Pimpinan Markas Besar ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan. Kadang-kadang Bapak Gerilya Kalimantan Brigjen H. Hassan Basry beristirahat di rumah ini.
http://www.urangbanua.com/Wisata/Kandangan/durian-rabung.jpg
Rumah bersejarah Durian Rabung
Kondisi rumah besejarah ini sukup memprihatinkan dan secara bertahap telah direnovasi baik oleh Pemda Hulu Sungai Selatan maupun Pemda Propinsi Kalimantan Selatan tanpa merubah bentuk dantata ruang. Di halaman bagian depan rumah bersejarah ini telah dibangun Tugu Peringatan peristiwa Rapat Pimpinan markas Besar ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan.
Benteng Madang
Jika anda jalan-jalan ke kecamatan Padang Batung sebalah utara akan bertemu dengan sebuah desa yang bernama Madang dengan dataran cukup tinggi menyerupai sebuah gunung. Dataran tinggi tersebut kemudian di tata dan dibuat oleh Tumenggung Antaluddin atas permintaan dari Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman kemudian dijadikan benteng pertahanan pasukan Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman dalam menghadapi serangan serdadu Belanda.
Tercatat ada lima kali serangan yang dilakukan oleh serdadu belanda dan semuanya dapat dikalahkan oleh pasukan Pangeran Hadayatullah dan Demang Lehman. Serangan-serangan serdadu Belanda dilakukan pada tanggal 3,4,13,18 dan 22 september 1860. Pada serangan yang keempat tanggal 18 September 1860, pasukan infantry serdadu bgelanda yang dipimpin oleh Kapten Koch dihajar habis-habisan oleh pasukan Pangeran Hidayatullah dan Demang lehman, sehingga banyak serdadu Belanda yang tewas termasuk Kapten Koch.
http://www.urangbanua.com/Wisata/Kandangan/benteng-madang.jpg
Benteng Madang
Saat ini Benteng Madang telah ditata dan direnovasi oleh Pemda HSS dengan anak tangga lebih dari 400 buah dan dapat dijelajahi dengan menggunakan mobil dengan jarak ± 8 Km dari Kota Kandangan.
Riwayat Benteng Madang
Tumenggung Antaluddin adalah seorang panglima perang dalam Perang Banjar dengan pusat perjuangan di kawasan Gunung Madang di kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan.
Pada masa itu Pangeran Hidayatullah dan Demang Lehman meminta kepada Tumenggung Antaluddin untuk membuat benteng pertahanan di Gunung Madang. Pasukan Pangeran Hidayatullah, Demang Lehman dan pasukan Tumenggung Antaluddin terkumpul di sekitar benteng ini pada bulan September 1860.
Pertempuran Gunung Madang 3 September 1860.
Persiapan benteng pertahanan di Gunung Madang ini diketahui oleh Belanda sehingga datanglah serangan pasukan Belanda secara mendadak pada 3 September 1860, sementara benteng belum selesai dibangun. Serdadu Belanda menyelusuri kampung Karang Jawa dan Ambarai dan langsung menuju Gunung Madang. Serdadu Belanda terkejut, ketika baru mendekati bukit itu serangan mendadak menyebabkan beberapa serdadu Belanda tewas. Sekali lagi serdadu Belanda mendekati bukit tetapi sebelum sampai serangan gencar menyambutnya, sehingga tentara Belanda mundur kembali ke benteng Amawang.
Pertempuran Gunung Madang 4 September 1860
Keesokan harinya tanggal 4 September 1860 pasukan infantri dari batalyon ke-13 mengadakan serangan kedua kalinya. Serdadu Belanda ini dilengkapi dengan mortir dan berpuluh-puluh orang perantaian untuk membawa perlengkapan perang dan dijadikannya umpan dalam pertempuran. Serdadu Belanda melemparkan 3 biji granat tetapi tidak berbunyi, dan disambut dengan tembakan dari dalam benteng Gunung Madang. Di dalam benteng Gunung Madang terdapat pula beberapa orang perantaian yang lari memihak pasukan Pangeran Hidayatullah ketika terjadi pertempuran di Pantai Hambawang yang terjadi sebelumnya. Ketika Letnan de Brauw dan Sersan de Vries menaiki kaki Gunung Madang, dia hanya diikuti serdadu bangsa Eropah sedangkan serdadu bangsa bumiputera membangkang tidak ikut bertempur Letnan de Brauw kena tembak di pahanya, dan 9 orang serdadu Eropah terkapar kena tembak dari arah dalam benteng. Setelah Letnan de Brauw kena tembak, serdadu Belanda mundur dan kembali ke benteng di Amawang. Serangan ketiga dilakukan beberapa hari kemudian setelah Belanda memperoleh bantuan dari Banjarmasin dan Amuntai.
Pertempuran Gunung Madang 13 September 1860.
Pada tanggal 13 September 1860 Belanda melakukan kembali serangannya terhadap benteng Gunung Madang. Serangan ini dipimpin oleh Kapten Koch dengan perlengkapan meriam dan mortir. Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin mempersiapkan menunggu serangan Belanda sedangkan Pangeran Hidayatullah mengatur strategi untuk menghadapinya. Pertempuran ini terjadi dalam jarak dekat, tetapi Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin dengan gagah berani menghadapinya. Ketika bunyi senapan dan meriam bergema, tiba-tiba roda meriamnya hancur kena tembakan. Kapten Koch mempertimbangkan untuk mundur kembali ke benteng Amawang. Kegagalan serangan Kapten Koch ini tersebar sampai ke Banjarmasin, sehingga G.M. Verspyck memerintahkan Mayor Schuak menyiapkan pasukan infantri dari batalyon ke 13 yang terdiri dari 91 opsir bangsa Eropah.
Pertempuran Gunung Madang 18 September 1860
Pada tanggal 18 September 1860 Mayor Schuak membawa pasukan dengan dibantu Kapten Koch menyerang Gunung Madang. Belanda membawa sebuah howitser, sebuah meriam berat dan mortir. Menjelang pukul 11.00 siang hari Demang Lehman memulai menyambut serdadu Belanda dengan tembakan. G.M. Verspyck yang berani mendekati benteng dengan pasukannya, kena tembak oleh anak buah Tumenggung Antaluddin, akhirnya mengundurkan diri membawa korban. Selanjutnya Kapten Koch memerintahkan memajukan meriam. Dengan jitu peluru mengenai serdadu pembawa meriam itu, dan jatuh terguling. Setelah pasukan meriam gagal, dilanjutkan dengan pasukan infantri mendapat giliran maju. Kapten Koch yang memimpin pasukan infantri maju, kena tembak di dadanya dan jatuh tersungkur. Dengan jatuhnya Kapten Koch tersebut serdadu Belanda menjadi bingung dan kehilangan komando. Mereka dengan bergegas menggotong mayat Koch dan berlari meninggalkan medan pertempuran, langsung mengundurkan diri kembali ke benteng Amawang. Setelah serangan keempat ini gagal, Belanda mempersiapkan kembali untuk penyerangan yang kelima Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin juga mempersiapkan siasat apa yang diambil untuk menghadapi serangan secara besar-besaran keluar dan tidak terpusat bertahan dalam benteng saja. Demang Lehman mendapat bantuan dari Kiai Cakra Wati pejuang wanita yang selalu menunggang kuda yang berasal dari daerah Gunung Pamaton (Distrik Riam Kanan).
Pertempuran Gunung Madang 22 September 1860
Serangan kelima terjadi pada tanggal 22 September 1860. Belanda mempersiapkan dengan teliti, belajar dari kegagalan empat kali penyerangannya. Belanda mempersiapkan mendirikan bivak-bivak dan perlindungan pasukan penembak meriam dengan sistem pengepungan benteng Gunung Madang. Pertempuran baru terjadi keesokan harinya dengan tembakan meriam dan lemparan granat. Pada pagi hari itu pertempuran tidak begitu seru, tetapi menjelang pukul 11.00 malam hari, tiba-tiba Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin mengadakan serangan besar-besaran dengan meriam dan senapan. Tembakan itu terus menerus bersahutan sampai menjelang subuh. Karena serangan yang gencar itu Belanda kehilangan komando apalagi malam hari yang gelap gulita. Pasukan Belanda kocar-kacir. Situasi yang tegang ini dipergunakan Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin beserta pasukannya keluar benteng dan menyebar keluar meninggalkan benteng, dan selanjutnya berpencar. Kiai Cakrawati meneruskan perjalanan ke Gunung Pamaton yang kemudian terlibat pula dalam pertempuran di Gunung Pamaton. Alangkah kecewanya Belanda ketika dengan hati-hati memasuki benteng untuk menghancurkan kekuatan Demang Lehman dan pasukannya ternyata benteng sudah kosong, hanya ditemukan satu orang mayat yang ditinggalkan.
Balai Amas dan Batu Beranak
Balai Amas dan Batu Beranak ini terletak di desa Pantai Ulin Kecamatan Simpur, 7 km dari kota Kandangan. Asal mula cerita Balai Amas (Balai Emas) ini merupakan sebuah tempat berdirinya pohon Ulin yang sangat besar.
Dahulu kala, disebuah pohon Ulin yang sangat besar ini hidup seekor burung Garuda yang setiap waktu kerjaannya memakan anak bayi yang masih di dalam ayunan. Karena semakin lama semakin meresahkan, para penduduk kampung bersepakat untuk memikirkan cara bagaimana menyingkirkan burung Garuda tersebut. Pohon Ulin itu mempunyai 6 x 6 meter.
balai amas
Foto balai disamping ini mencerminkan besarnya ukuran pohon kayu ulin tersebut
http://www.urangbanua.com/Wisata/Kandangan/ba1.jpg
http://www.urangbanua.com/Wisata/Kandangan/ba3.jpg
Berbagai macam peralatan dicobakan untuk menebang pohon ulin tersebut tetapi tidak satupun yang mampu menggores batang kayunya. Akhirnya ada seorang tetuha kampung setempat mencoba menumbangkan pohon tersebut dengan sebilah pisau. Dikorek perlahan-lahan akar pohon ulin tersebut dengan hanya menggunakan sebilah pisau kecil tidak disangka-sangka pohon Ulin raksasa inipun roboh bersama burung Garuda di atasnya. Konon, saking tinggi dan besarnya pohon Ulin ini pucuknya sampai roboh ke daerah Marabahan, Barito Kuala (± 50 km dari Banjarmasin, ± 200 km dari Kandangan), sehingga nama daerah itu disebut Marabahan yang berarti tempat rabah (roboh) pohon Ulin tadi.
Setelah keadaan aman, bekas tumbuh pohon Ulin tadi dibuat sebuah balai. Di balai inilah sejak dulu diadakan berbagai macam selamatan dan acara adat setiap tahunnya.
Di kampung ini juga ada dua buah tempat yang diyakini penduduk memiliki kesaktian, yaitu Batu Beranak.
batu beranak.
http://www.urangbanua.com/Wisata/Kandangan/bb.jpg
Tempat batu beranak ini asalnya tidak ada apa-apa, tiba-tiba bermunculan batu-batu memenuhi tempat tersebut sehingga oleh penduduk setempat diberi gelar Batu Beranak. Konon, ukuran batu yang ada disini bisa tumbuh berkembang sampai akhirnya melahirkan batu kecil di sekelilingnya, begitu seterusnya seperti siklus hidup manusia.
Pernah ada yang iseng-iseng mencoba mengukur batu tersebut, setiap hari Jumat batu yang sama diukur dan menurut keterangan para saksi batu yang diukur tersebut memang terus bertambah ukurannya. Pernah juga ada orang yang mengambil untuk dibawa pulang ternyata beberapa hari kemudian batunya hilang setelah diperiksa batu yang sama kembali ke tempatnya semula.
Demikian sekilas oleh-oleh cerita dari kampung dan memperkenalkan tempat yang diyakini masyarakat setempat sebagai tempat berkeramat sebagai bagian dari kekayaan budaya Banjar.
Bagi yang penasaran, silakan untuk mengunjungi dua tempat tersebut. Pisau yang digunakan untuk merobohkan pohon Ulin tadi masih disimpan secara turun temurun oleh penduduk kampung, bila berkunjung ke sana bisa mencari informasi lebih lanjut.

WISATA RELIGIUS
Aruh Adat (Aruh Ganal) Di Loksado
Aruh Adat (Aruh Ganal) penduduk dayak meratus di Loksado dipusatkan di balai adat Malaris di desa LokLahung yang biasanya diadakan pada bulan September setiap tahunnya. Balai Adat Malaris merupakan balai adat terbesar di desa Loksado. Merupakan tempat ritual adat dayak Meratus yang diadakan tiap tahun. Ritual yang dimaksud adalah acara yg diselenggarakan sebagai ucapan terima kasih kepada Sang Pecipta atas anugrah hasil alam di Loksado kepada mereka. Aruh adat penduduk dayak meratus Loksado ini biasanya dilakukan satu tahun tiga kali yaitu pada saat akan menanam padi, pada saat panen, dan penutup semua aruh.
Aruh Ganal adalah aruh penutup bagi pelaksanaan semua aruh yang dilaksanakan dengan hikmat dan penuh dengan berbagai sesajen. Prosesi pelaksanaan aruh juga menjadi perhatian seluruh masyarakat dayak yang ada di Banua Anam. Selain itu, para pengiat alam bebas dan masyarakat yang berkunjung ke Loksado juga banyak yang datang ke Balai Malaris.
Selain itu, para tokoh dan tetua adat di berbagai balai dan kabupaten kota terlihat hadir. Kendati kehadiran mereka tidak ikut dalam pelaksanaan prosesi aruh ganal secara langsung, namun kehadiran mereka sudah meligitimasi keberadaan ritual aruh penutup yang dilaksanakan masyarakat Desa Malaris.
”Kegiatan ini adalah kegiatan ritual penutupan pelaksanaan segala aruh. Kami para tetua hanyalah menyaksikan kegiatan ini berlangsung,” ujar Normansyah pemuka adat dari Balai Uling-uling Loksado.
Adapun aruh yang dilaksanakan selama satu tahun ada tiga kali, yaitu:
Pertama adalah aruh Basambu, biasanya diadakan pada bulan Januari atau februari. Dalam prosesi ini, aruh untuk berterima kasih kepada Tuhan yang Maha Kuasa, karena berkat keridoannya maka tanaman padi yang ditanam menjadi tumbuh subur dan dapat dinikmati oleh masyarakat. Dalam pelaksanaan aruh ini, masyarakat Dayak yang mengikuti ritual aruh saling memberikan beras kepada para pendatang. Tanda ungkapan gembira karena panen yang mereka laksanakan berlimpah..
Kedua adalah Bawang, dilaksanakan pada bulan Juni. Aruh ini untuk panen padi, dimana dalam aruh ini sejumlah masyarakat dayak akan melakukan panen padi pertama. Di dalam aruh penen ini, masyarakat juga memasak beberapa bumbung lamang, selanjutnya lamang-lamang tersebut dipotong-potong untuk dibagikan kepada para pendatang. Lamang yang dibagikan ini tanda ikatan kekeraban yang ada pada masyarakat Dayak. Selain itu, lamang yang dipotong-potong ini juga adalah bagian dari ucapan terima kasih kepada Tuhan yang telah memberikan rezeki yang berlimpah.
Pada aruh ketiga yang dilaksanakan pada bulan September, dikenal dengan aruh penutup atau aruh ganal (aruh bawanang), dimana aruh tersebut adalah bagian dari penutup semua aruh yang pernah dilaksanakan. Jika pada aruh kecil hanya dirayakan sehari semalam, aruh penutup ini diselenggarakan sepekan penuh, siang malam, dengan diiringi tabuhan kendang dari berbagai sudut, para tokoh adat berdoa (bamamang) sambil menari (batandik) mengelilingi pusat balai yang merupakan simbol makrokosmos. Selama tujuh hari tujuh malam mereka mengadakan upacara tidak pernah lelah. Hal ini disebabkan karena mereka menghadap sang pencipta dengan khusu, iklas, penuh keyakinan, tidak memikirkan dunia, dan menghirup angin surga. Dalam pelaksanaan aruh penutup, tokoh masyarakat akan memotong ayam hitam dimana darahnya dibiarkan berserakan ke sangar panunjang, sebagai bukti bakti masyarakat dayak kepada sang hyang widi. Para warga duduk melingkar balai meminta berkah dan rezeki menghadapi tahun tanam baru.
Diharapkan, dengan adanya pengorbanan darah ayam hitam ini dapat menolak semua bencana yang akan menimpa seluruh masyarakat.
Masjid Baangkat
Mesjid Su’ada atau Mesjid baangkat didirikan oleh Al Allamah Syekh H. Abbas dan Al Allamah Syekh H. Said bin Al Allamah Syekh H. Sa’dudin pada tanggal 28 Zulhijjah 1328 H bersamaan dengan tahun 1908 M yang terletak di desa Wasah Hilir Kecamatan Simpur yang jaraknya ± 7 km dari kota Kandangan. Masjid ini didirikan di atas tanah wakaf milik Mirun bin Udin dan Asmail bin Abdullah seluas 1047,25 m persegi.
Bentuk bangunan induk masjid su’ada yakni persegi empat, bertingkat tiga, mempunyai loteng menutup gawang/puncah dan petala/petaka yang megah. Semua itu memunyai makna tertentu sebagai berikut:
a. Tingkat pertama mengandung makna Syariat
b. Tingkat kedua mengandung makna Thariqat
c. Tingkat ketiga mengandung makna Hakikat
d. Loteng mengandung makna Ma’rifat
e. Petala/petaka yang megah berkilauan yang dihiasi oleh cabang-cabang yang sdang berbunga dan berbuah melambangkan kesempurnaan Ma’rifat.
Banyak peristiwa yang terjadi seolah-olah aneh, tidak rasional tapi nyata ketika akan dan sedang dalam pembangunan masjid tersebut, seperti angin topan bertiup luar biasa keras dan derasnya yang menyebabkan sebatang pohon asam yang besar telah condong sekali akan menmpa rumah Al Allamah Syekh H. M. Said (pendiri masjid Su’ada). Dilihat kejadian ini, Al Allamah tersebut mendekati pohon tersebut dan mendorongnya dengan berlawanan arah, maka dengan pertolongan Allah SWT angin topan yang dahsyat itu berbalik arah sehingga pohon asam ini tumbang dan selamatlah ulama tersebut.
Kejadian lain yakni salah satu tiang utama masjid kurang panjang ± 10 cm, sehingga mengalami kesulitan untuk pendirian bangunan masjid. Dengan izin Allah, keesokkan harinya tiang tersebut menjadi bertambah panjang sesuai kebutuhan. Peristiwa lainnya, yakni ditengah perjalanan antara Kalumpang dan Negara, rombongan Al Allamah Syekh H. M. Said kehabisan ikan untuk makan, tiba-tiba seekor ikan besar melompat ke perahu mereka dan akhirnya mereka mempunyai ikan untuk makan bersama. Kejadian lainnya yakni rombongan tersebut pada malam hari di perahu tidak bisa tidur karena kenyamukan, tiba-tiba dengan pertolongan Allah SWT, ternyata nyamuk tersebut menghilang, sehingga rombongan Al Allamah Syekh H. M. Said dapat tidur.
Makam Datu Taniran
Jika anda berkunjung ke bumi Antaludin Kandangan, maka mampirlah di makam Al Allamah Syekh H. Sa’duddin (H.M Thayib) di desa Taniran Kecamatan Angkinang yang jaraknya ± 8 km dari kota Kandangan. Beliau merupakan buyut dari pengarang kitab Sabilal Muhtadin, Datu Kelampayan Syekh Maulana H.Muhammad Arsyad Al Banjari. Nama sebenarnya Datu Taniran adalah H Sa’duddin. Beliau dilahirkan di Dalam Pagar Martapura pada 1774, dan meninggal pada 1856 di Kampung Taniran (masuk Kecamatan Angkinang). Taniran, tempat H Sa’duddin menyiarkan Agama Islam selama hidupnya sekitar 45 tahun.
http://www.urangbanua.com/Wisata/Kandangan/taniran3.jpghttp://www.urangbanua.com/Wisata/Kandangan/taniran1.jpg
Papan nama makam keramat Datu Taniran yang ada di desa Taniran Kecamatan Angkinang
Makam Keramat Datu Taniran terdapat di bangunan kecil berdekorasi kaligrafi dan ukiran kayu gaya khas Banjar.
makam datu taniran
Makam Datu Taniran
Beliau termasuk salah seorang wali Allah SWT yang sepanjang hidupnya digunakan untuk da’wah agama Islam guna menegakkan kalimat Tauhid agar manusia selamat dunia dan akhirat. Untuk lebih jelasnya mengenai keadaan beliau dimasa hidupnya dapat dipelajari melalui biografi atau manakib beliau.
Makam/kubah Datu Taniran ini merupakan makam yang paling sering dan banyak dikunjungi orang, jika dibandingkan dengan makam/kubah lainya yang terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan.

1 komentar:

  1. Saya dukung pelestarian khazanah cerita rakyat, hikayat, legenda, situs sejarah dan situs prasejarah kandangan, hulu sungai selatan, kalimantan selatan seperti Situs pemukiman hunian kuno manusia prasejarah di situs jambu hilir padang rasau dan situs jambu hulu sungai tatau, Sang maharaja sukarama dan raja-raja dari kerajaan negara daha, perebutan tahta pangeran samudera dengan pangeran tumenggung, legenda raja gubang dan raja bagalung kerajaan bakaling, datu panglima amandit, datung suhit dan datuk makandang, datu singa mas, datu kurba di sungai paring dalam, datu ramanggala di ida manggala, datu rampai dan datu parang di baru sungai raya, datu ulin dan asal mula kampung ulin, datu sangka di papagaran, datu saharaf parincahan, datu putih dan datu karamuji di banyu barau, legenda batu laki dan batu bini di padang batung, legenda gunung batu bangkai loksado, datu ning suriang pati di gambah dalam, legenda datu ayuh sindayuhan dan datu intingan bambang basiwara di loksado, kisah datu ning bulang di hantarukung, datu durabu di kalumpang, datu baritu taun dan datu patinggi di telaga langsat, legenda batu manggu masak mandin tangkaramin di malinau, kisah telaga bidadari datu awang sukma di hamalau, kisah gunung kasiangan di simpur, kisah datu kandangan dan datu kartamina, datu hamawang dan datu balimbur serta sejarah mesjid quba, tumenggung antaludin, tumenggung mat lima dan tumenggung mat jingga mempertahankan benteng gunung madang, datu ali kangsa dan datu ali syahid di durian rabung, panglima bukhari dan perang amuk hantarukung di simpur, datu naga ningkurungan luk sinaga di luk loa, datu singa karsa dan datu ali ahmad di pandai, datu buasan dan datu singa jaya di hampa raya, datu haji muhammad rais, datu ali akbar dan datu jaya pati di bamban, datu gulama di sungai paring, datu janggar dan datu janggaran di malutu, datu bagut di hariang, sejarah mesjid ba angkat di wasah, dakwah penyebaran agama islam tumenggung kartawedana, datu haji sahid dan datu haji said, datu taniran di angkinang, datu balimau di kalumpang, datu daha, datu kubah dingin, makam habib husin di tengah pasar kandangan, kubur habib ibrahim nagara dan kubah habib abu bakar lumpangi, kubur enam orang pahlawan di ta’al, makam keramat bagandi, kuburan tumpang talu di parincahan, pertempuran garis demarkasi dan kubur Brigjen H.M. Yusi di karang jawa, pahlawan wanita aluh idut di tinggiran, panglima dambung di padang batung, gerombolan letnan dua Ibnu hajar, sampai cerita tentang perang kemerdekaan Divisi IV ALRI oleh pejuang-pejuang kandangan yang banyak tersebar di banua amandit yang dipimpin Brigjend H. Hasan Basery di telaga langsat, karang jawa, jambu, bagambir, mandapai, padang batung, ni’ih, simpang lima, tabihi, munggu raya dan pembacaan teks proklamasi kemerdekaan kalimantan.
    Semuanya adalah salah satu aset budaya dan sejarah bagi Kalimantan Selatan.

    BalasHapus